Jangan ada dikte dalam penyusunan Undang-Undang Narkotika
Bandung.merdeka.com - Pemerintah dan DPR RI harus memiliki kedaulatan penuh dalam menyusun revisi Undang-Undang Narkotika. Saat ini Rancangan UU tersebut sudah masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas). “Jangan sampai penyusunan Undang-Undang Narkotika didikte kebijakan global yaitu konvensi PBB,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Sativa Nusantara, Inang Winarso, melalui rilis yang diterima Merdeka Bandung dari Rumah Cemara Bandung.
Untuk diketahui, Undang-Undang Narkotika merupakan revisi dari Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Menurut Inang Winarso mengatakan, Indonesia sudah berpengalaman melahirkan UU tentang narkotika yang didikte PBB. Sehingga, kata dia, seluruh Undang-undang di Indonesia tidak mampu menyelesaikan persoalan narkotika. Hal ini terjadi karena landasan filosofis, ideologis, dan sosiologis yang didikte kepentingan asing berbeda dengan di Indonesia.
“Padahal aturan menyusun UU harus berpijak pada ketiga landasan itu landasan filosofis, ideologis, dan sosiologis,” katanya.
Ia mengungkapkan, pelaksanaan berbagai aturan terkait narkotika di Indonesia banyak dikendalikan oleh tiga konvensi PBB, yaitu Konvensi PBB tahun 1961, 1971, dan 1988. UU tersebut antara lain UU RI No. 9 Tahun 1976, UU RI No. 5 Tahun 1997, UU RI No. 22 Tahun 1997, dan UU RI No. 35 Tahun 2009.
Ia mencontohkan, pelarangan ganja di Indonesia jelas merupakan dikte dari Konvensi PBB tentang Narkotik tahun 1961. “Ganja selama ratusan tahun itu sudah digunakan pada sejumlah masyarakat di Indonesia. Dia bermanfaat untuk menghalau hama, penyedap masakan, atau dijadikan obat berupa minyak oles. Tapi tiba-tiba oleh konvensi PBB tahun 1961 itu dilarang. Padahal kita tidak memiliki alasan untuk menjelaskan kenapa itu dilarang,” kata Inang.
Rumah Cemara merupakan komunitas pemberdayaan mantan pecandu Napza yang berpusat di Bandung. Humas Rumah Cemara, Indra Simorangkir, mengatakan Rumah Cemara tergabung dalam kelompok diskusi Indonesia Cerdas NAPZA (dICERNA).
“Dalam dICERNA terungkap data sejarah perundang-undangan menyangkut narkotika. Sejak pemerintahan Orde Baru, Indonesia sudah tiga kali mengganti dan mengubah hukum nasional mengenai narkotika,” kata Indra.
Pertama, kata dia, mencabut hukum kolonial Verdoovende Middelen Ordonnantie (Stbl. 1927 No. 278 Jo. No. 536) dan menetapkan UU RI No. 9 Tahun 1976 setelah mengesahkan Konvensi Tunggal PBB tentang Narkotik 1961. Sejak berlakunya UU tersebut pemidanaan kasus narkoba dimulai berupa penjara hingga hukuman mati.
Kedua, setelah pengesahan Konvensi PBB tentang Psikotropika 1971 dan Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotik dan Psikotropika 1988, Indonesia memberlakukan UU RI No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan mengesahkan perubahan UU Narkotika menjadi UU RI No. 22 Tahun 1997. Perubahan dilakukan untuk menyelaraskan dimensi kejahatan internasional dalam Konvensi 1988.
Ketiga, menggabungkan UU Psikotropika ke dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Selain penggabungan itu, perubahan UU Narkotika dilakukan untuk mengakomodasi kelembagaan Badan Narkotika Nasional (BNN), sebuah lembaga negara yang kompeten dalam pemberantasan kejahatan narkotika sesuai amanat Konvensi PBB 1988. Pemberatan hukuman juga dilakukan di perubahan tersebut.
Perubahan-perubahan tersebut tak bisa dilepaskan dari kendali PBB yang mendesakkan Konvensi 1961, 1971, dan 1988 untuk diadopsi negara-negara anggotanya, termasuk Indonesia. Penghukuman dan larangan menjadi semangat UU Narkotika yang didiktekan agar selaras dengan konvensi-konvensi tersebut.