Soenda Mountain, kopi yang mengemban misi kesejahteraan petani

user
Farah Fuadona 18 Desember 2015, 11:18 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Petani kopi di Jawa Barat berada di bawah cengkraman para tengkulak. Hasil panen mereka dibeli dengan harga murah. Petani kopi tak bisa berbuat banyak karena kebutuhan hidup yang mendesak.

Dengan latar belakang itu, Dikdik Rahmat Mulyana, 32 tahun, membuat brand kopi Soenda Mountain. Soenda Mountain diharapkan bisa merangkul para petani kopi. Saat ini, Senda montain menggarap 250 hektar lahan milik Perhutani di kaki Gunung Manglayang, Bandung.

Lahan tersebut ditanami 45 ribu pohon kopi jenis arabika. Dalam mengelola pohon kopi, Soenda Mountain bekerja sama dengan delapan kelompok tani yang merupakan warga desa sekitar. “Total ada sekitar 100 petani dari beberapa desa. Mereka mendapat upah dengan sistem gaji bulanan,” jelas Dikdik.

Pendiri lembaga penelitian Smart Consulting Bandung ini menuturkan, pemberdayaan lahan kopi tersebut bekerja sama dengan Komunitas Pelestarian Gunung Manglayang, Wahana Lingkungan Hidup Jawa Barat dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA).

Menurutnya, kondisi para petani kopi di Jawa Barat saat ini memprihatinkan. Tak sedikit yang menyerah pada tengkulak. Para tengkulak membeli kopi hasil panen mereka dengan sitem mirip ijon, yakni hasil panen tahun depan dibayar tahun ini.

Sementara harga kopi hasil panen ditawar sangat murah, yakni Rp 5 ribu per kilogram. Padahal jika dikelola dengan teknologi pasca panen, misalnya dikupas untuk jadi biji kopi siap roasting (green bean), harga kopi bisa jauh lebih tinggi. “Kalau kita berdayakan petani dengan teknik pasca panen kan daya tawarnya bisa tinggi,” ujarnya.

Menurutnya, para petani kopi bukan tidak bisa melakukan pengelolaan kopi pascapanen. Kebutuhan hidup mereka menuntut menjual hasil panen dalam waktu cepat. Selain itu, menembus pasar ekspor kopi juga tidak mudah. “Saya bisa tembus pasar ekspor Banjaran perlu waktu 1 tahun,” katanya.

Ia menjelaskan, pasar kopi di Jawa Barat berada di Banjaran. Dari situ kopi dikirim ke eksportir di Medan. Soenda Mountain sebenarnya dibuat untuk memutus pengaruh tengkulak tersebut. Keinginan tersebut tentu harus dimulai dari bawah. Ia memulai dengan pendekatan mendasar teknik menanam kopi yang kini dipraktekan di kaki Gunung Manglayang.

Pohon-pohon kopi di perkebunan kopi tersebut dipupuk dengan pupuk organik yang bersumber dari kandang-kandang sapi yang berada di kawasan tersebut. Ia menegaskan, pohon kopi Soenda
Montain tidak dipupuk dengan pupuk non-organik karena alasan lingkungan. “Kita membeli pupuk kandang milik warga,” kata pria yang bercita-cita ingin mewujudkan usaha kopi bapaknya.

Pembelian pupuk kandang berawal dari perbedaan pendapat antara kebun kopi dan pemilik ternak. Para peternak sapi menginginkan agar rumput dibiarkan tumbuh di kebun kopi. Padahal rumput justru menghambat pertumbuhan kopi.

Masalah rumput akhirnya bisa teratasi dengan dibelinya kotoran sapi untuk pupuk pohon kopi. Syarat pembelian kotoran sapi, petani sapi harus rela tiap pohon kopi memiliki lahan bebas rumput dalam radius 2,5 meter persegi.

Saat ini, Dikdik sedang merintis Preanger Huis, kopi yang dibuat dari biji-biji kopi yang tumbuh di sentra kopi yang ada di Jawa Barat seperti Bandung utara, Ciwidey, Garut dan Sukabumi. Namun kendalanya, banyak petani yang sudah terikat kontrak dengan tengkulak. Untuk menyiasatinya, ia bekerja sama dengan AGRA.

Kredit

Bagikan