Yayat Ruhiyat, guru tunanetra yang memberi inspirasi
Bandung.merdeka.com - Sosoknya tak asing lagi bagi sebagian orang di Yayasan Wyata Guna, Bandung, Jawa Barat. Pria berusia 53 tahun itu sehari-hari bekerja sebagai guru pendidikan Agama Islam di yayasan tersebut.
Selain mengajar ilmu agama, Yayat Ruhiyat juga mengajar cara menulis dan membaca huruf braille dan Al Quran braille. Dulu sebelum mengajar di Yayasan tersebut, ia pernah bekerja di Balai Penerbitan Braille Indonesia (BPBI) Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat. Kemudian pada tahun 2000 ia diminta untuk mengajar anak-anak berkebutuhan khusus di tempatnya bekerjanya saat ini.
“Saya merasa senang karena bisa menularkan apa yang saya miliki kepada adik-adik saya. Meski secara visual mereka tunanetra tapi tidak dikategorikan buta huruf braille,” kata Yayat, kepada Merdeka Bandung.
Yayat sendiri sudah buta sejak kelas 6 SD. Waktu itu mainan anak panah melukai salah satu matanya hingga ia dilarikan ke rumah sakit. Namun operasi yang dilakukannya gagal hingga divonis kedua matanya buta.
Menjadi tunanetra di usia yang masih belia menjadi pukulan luar biasa bagi Yayat. "Bayangkan sebelum kelas 6 SD saya bisa melihat dunia. Tetapi setelah kecelakaan itu segalanya seperti hilang, "kata dia.
Meski demikian, ia berusaha bangkit dan terus belajar agar bisa beradaptasi sebagai tunanetra. Baginya tunanetra sama seperti manusia normal lainnya, diberi hidup yang sama oleh Allah SWT. Dengan bekal akal yang dimiliki setiap manusia kesuksesan juga bisa dimiliki oleh semua manusia termasuk kaum difabel atau tunanetra.
Prinsip itu ia jalankan dengan mengajar cara membaca dan menulis braille kepada siswa tunanetra. Sehingga mereka pun memiliki akses mempelajari buku-buku braille. "Pengetahuan itu akan menambah wawasan mereka, lalu kapasitas dan kualitas mereka juga akan meningkat," ujar Yayat.
Ia menyebutkan, tiap tahun Yayasan Wyata Guna menghasilkan 30-60 lulusan tunanetra. Tahun ini yayasan bersiap memasuki tahun ajaran baru dengan target menerima 30 orang siswa tunanetra.
Meningkatnya jumlah tunanetra yang bisa membaca braille. Perlu dukungan berupa akses terhadap buku-buku braille. Menurut Yayat, akses membaca inilah yang selama ini kurang diperhatikan pemerintah. “Untuk media baca bagi tunanetra itu sangat terbatas,” kata pria lulusan IKIP Bandung (kini UPI).
Selama ini sumber buku braille untuk kaum tunanetra berasal dari BPBI. Buku yang disediakan meliputi pengetahuan umum hingga keterampilan. Seiring perkembangan teknologi informasi siswa di yayasan Wyata Guna juga mulai belajar mengakses internet. Untuk bisa mengakses komputer dilakukan pembelajaran secara bertahap. “Saya juga sedikit-sedikit belajar supaya tidak ketinggalan,” ujarnya.
Aktivitas Yayat tak hanya sebatas mengajar. Ia pun tercatat sebagai anggota tim tahsin Al Quran Braille Kementerian Agama RI. “Jadi Quran braille terbitan Departemen Agama kan harus dicek, saya salah satunya yang mengoreksi,” terangnya.
Ia juga merupakan pendiri Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia. Di organisasi ini ia pernah menjadi sekertaris jenderal, ketua umum dan kini menjadi Majelis Pertimbangan Pusat. Ia juga aktif di Forum Tunanetra Menggugat, forum yang beranggotakan berbagai organisasi disabilitas.
Forum Tunanetra Menggugat sering menggelar aksi demonstrasi. Yayat termasuk menjadi yang terdepan. Pada Hari Difabel Internasional yang diperingati tiap 3 Desember, ia turut turun ke jalan untuk menuntut pemerintah memenuhi hak-hak kaum difabel .
“Hak-hak mendasar kami sama dengan manusia umumnya, hak hidup, hak keadilan di bidang politik, pendidikan, kesehatan. Jadi kami tidak menuntut macam-macam. Sementara selama ini kita diperlakukan tidak seperti itu,” katanya.