Keajaiban iktikaf dan tangis Aan tentang hidup dan mati

user
Mohammad Taufik 02 Juli 2016, 08:07 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Aan (38), menjadi salah satu jemaah yang langganan beriktikaf di Masjid Habiburrahman. Tinggal dan beribadah di masjid yang berseberangan dengan PT Dirgantara Indonesia itu membuatnya ketagihan.

"Sejak 99 pertama kali dibuka iktikaf di sini, saya merasa cocok," kata Aan kepada Merdeka Bandung, kemarin.

Waktu itu Aan memulai iktikaf sejak kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Kini Aan sudah dikarunia 3 anak hasil pernikahannya dengan Ridho (32). Mereka sekeluarga biasa beriktikaf selama 10 hari di masjid yang didirikan BJ Habibie itu.

"Iktikaf di sini saya merasa lebih menemukan sesuatu. Akhirnya tiap tahun ketagian untuk kembali ke sini," tutur perempuan berkerudung yang sehari-hari mengajar ilmu biologi.

Iktikaf di masjid tentu bukan ibadah biasa. Iktikaf di Masjid Habiburrahman dimulai tanggal 21 sampai 30 Ramadan. Selama itu jemaah mengikuti program masjid maupun ibadah pribadi.

Program masjidnya adalah salat tarawih dan salat malam (qiyamullail). Surat Alquran yang dibacakan imam saat salat tersebut sebanyak 3 juz, sangat panjang. Sehingga pada hari ke-10, jamaah sudah mengkhatamkan Alquran.

"Capek sih tentu capek, beribadah siang malam. Tinggal di masjid tentu tak senyaman tinggal di rumah," kata perempuan yang tinggal di Cileunyi, Kabupaten Bandung.

Namun di tengah rasa capek itu ia merasakan pengalaman spiritual yang berbeda dari bulan-bulan biasa. Pengalaman itu hanya bisa ia rasakan secara pribadi, sulit digambarkan dengan kata-kata.

"Saya menemukan sesuatu yang membuat ketagihan, tiap tahun merindukan momen ini. Mungkin ini hanya dirasakan saya saja, tapi mungkin bagi orang lain yang beriktikaf di sini juga merasakan yang lebih ajaib lagi," ujarnya merujuk pada ratusan jamaah yang juga beriktikaf di masjid tersebut.

Menurut dia, banyak jamaah yang iktikaf datang dari luar Jawa. Malah ada yang sambil mudik kemudian mampir dulu untuk beriktikaf. "Pengalaman dan perjuangan orang luar Jawa pasti lebih berat lagi," katanya.

Di sela iktikaf, Aan juga bersilaturrahmi dengan sesama jamaah yang datang dari berbagai tempat di Indonesia. Jika sahur atau buka puasa, mereka biasa berbagi makanan.

Pelajaran yang didapat dari iktikaf, menurut Aan adalah mudahnya menemukan kesadaran. Kesadaran akan hidup dan mati. "Kesadaran itu sampai membuat saya menangis," katanya.

Kredit

Bagikan