Mengisi Ramadan dengan pesantren seni di Bandung

user
Muhammad Hasits 20 Juni 2016, 15:36 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Pesantren Ramadan biasanya mengajarkan ilmu-ilmu agama. Namun berbeda dengan Pesantren Seni yang digelar di Papuri Pendopo, Bandung, yang mengajarkan kesenian sunda seperti karawitan, kawih, dan tari.

Pesantren Seni digelar untuk mengisi kegiatan Ramadan bagi siswa TK sampai SMA. Pesantren berlangsung empat hari, mulai Senin (20/6) sampai penutupan bertema “Pesantren di Kampung Ramadan,” Kamis (23/6).

Pesantren Seni mengusung semangat nilai-nilai Sunda, yakni “"Cageur, Bageur, Pinter, Singer, Wanter." Guru Pesantren Seni, Mas Nanu Muda, menjelaskan semangat tersebut mengajak para murid agar sehat jasmani rohani, menimba kebaikan lewat lirik lagu-lagu tradisional, belajar kreatif dan berani tampil.

“Meski berbeda dengan pesantren umumnya, kita mengajarkan seni-seni Sunda. Sedangkan seni Sunda sendiri sebenarnya bernafaskan islami,” terang Nanu, di Pendopo Papuri, Jalan Soekarno-Hatta 785 A Bandung.

Contoh kawih yang bernafaskan Islam, kata dia, adalah lagu Demi Wanci (demi masa) yang merujuk pada surat Al Asr dalam Al Quran yang berarti waktu.

Untuk menyemarakkan Pesantren Seni, kata dia, pihaknya sudah mengundang 20 sekolah di Kota Bandung baik tingkat TK hingga SMA. Materi kawih, karawitan dan tari diberikan guru dari Papuri Pendopo maupun dari Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung.

Dalam pelaksanaan pesantren, murid-murid akan dikelompokkan sesuai minat seni dan jenjang sekolah.  Pada akhir pesantren mereka akan disatukan dalam acara “Pesantren di Kampung Ramadan.”  

Ia menjelaskan, Pesantren Seni berupaya mengembangkan dan mengenalkan seni pada generasi muda. Pengenalan terhadap budaya lokal penting sebagai benteng dari budaya luar lewat globalisai.

Selain itu, peserta pesantren menjadi punya kegiatan untuk mengisi Ramadan. “Sambil puasa, menunggu siang hingga magrib kita mengisi dengan kegiatan bermakna,” katanya.

Khamila Febrianti (10), menjadi salah satu peserta Pesantren Seni. Siswi kelas empat di SDN Cibiru IV ini memilih belajar kawih Sunda yang makin hari makin jarang dikenal generasi muda.

“Untuk memerdalam kawih Sunda. Kalau musik pop kan banyak. Jadi saya sengaja mengarahkan anak saya ke sinden,” jelas ayah Khamila, Abah Nzoem.

Abah Nzoem merupakan pemimpin Lingkung Seni Reak Tibelat, Bandung. Seni reak sendiri membutuhkan sinden sebagai juru kawih. Ia mengaku kesulitan menemukan juru kawih untuk mengiringi pentas seni reaknya.

“Sekarang mulai susah mencari sinden. Jadi ikut di pesantren ini sebagai regenarsi kawih,” kata ayah empat anak ini.

Kredit

Bagikan