Perang dalam kota jelang Bandung Lautan Api

user
Farah Fuadona 20 Maret 2016, 17:37 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Kedatangan pasukan Inggris yang membonceng Netherlands Indies Civil Administration (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda/NICA) memicu antipati rakyat Bandung. Politik adu domba yang dijalankan NICA menyulut perang kota.
 
Perang terjadi dalam kurun 1945-1946. Perlawanan pejuang dianggap sebagai hambatan bagi Inggris yang waktu itu bertugas membebaskan interniran (tawanan Jepang) dan melucuti tentara Jepang di Indonesia.
 
AH Nasution mencatat, pada 1 Maret 1946 diadakan rapat Madjelis Persatoean Perdjoeangan Priangan (MP3), sebuah badan yang terdiri dari berbagai organisasi perjuangan atau laskar, jawatan sipil, tokoh masyarakat, dan Tentara Republik Indonesia (embrio TNI). MP3 melakukan protes kepada United Nation Organization (UNO) mengenai kehadiran Inggris di Indonesia.
 
“Kehadiran Inggris nyata-nyata membantu Belanda untuk menjajah Indonesia kembali. MP3 menyatakan bertekad akan mempertahankan kemerdekaan negara Republik Indonesia seratus persen,” kata Nasution yang waktu itu menjabat Komandan Divisi III (cikal bakal Kodam III Siliwangi) TKR berpangkat Kolonel.
 
Tulisan Nasution dikutip dari buku “Saya Pilih Mengungsi” yang diterbitkan Bandung Heritage Society dan Balai Purbakala, Nilai Sejarah dan Tradisi Jawa Barat. Nasution melanjutkan, MP3 pun membuat program perjuangan, menghimpun kekuatan rakyat untuk mempertahankan negara RI.
 
Buku tersebut mencatat beberapa pertempuran dalam kota antara pasukan gabungan Inggris dan NICA dengan pejuang. Masa itu pasca ultimatum Inggris I, secara Bandung telah dibagi dua dengan batas rel kereta api. Dari rel kereta ke utara khusus ditempati orang Belanda dan Eropa. Dari rek kereta ke selatan khusus kaum Republiken (pribumi).
 
Para pejuang sering mennyerang tempat-tempat konsentrasi pasukan Inggris seperti di Hotel Homann, Preanger, dan Gedung Sate. Sasaran lainnya adalah jalur konvoi pasukan Inggris dan Belanda dari Jakarta menuju Bandung. Pertempuran sering terjadi di Bogor, Sukabumi, Cianjur, Padalarang, dan Bandung kota.
 
Daerah demarkasi utara-selatan sering dilanggar kedua belah pihak. Inggris dan Belanda sering menerobos untuk mengejar pejuang yang lari ke selatan. Para pejuang sering melancarkan grilya dan menembakkan mortirnya ke utara.
 
Tugas Inggris makin sulit karena tempat interniran banyak yang dikuasai pejuang.
 
Untuk membebaskan interniran dan melucuti senjata Angkatan Laut Jepang di Lembang, Inggris harus melalui Batalyon VI TRI Sukanda Bratamanggala. Sama dengan tugas melucuti senjata Jepang yang menjaga gudang senjata Bojong Koneng, harus melalui daerah kekuasaan para pejuang di Cicadas.
 
Sikap antipati pejuang tidak lepas dari politik devide et impera Belanda yang berhasrat menguasai kembali Indonesia yang baru saja memproklamirkan diri sebagai negara merdeka.
 
Beberapa pertempuran besar dalam kota tercatat di Lengkong, pada 2 Desember 1945. Inggris menggunakan persenjataan canggih dan berat. Pesawat pengebom Inggris membombardir Lengkong yang menewaskan penduduk sipil. Hari berikutnya pertempuran meluas hingga ke Jalan Pungkur, Jalan Pasundan, dan Tegallega. Pasukan Inggris menggunakan pesawat B-25 dan Mustang.
 
Serangan besar-besaran juga terjadi di Cicadas. Serbuan Inggris diawali dengan serangan udara dan dilanjutkan dengan perang darat menggunakan tank. Pengeboman ini meninggalkan lubang cukup besar di daerah Cicadas.
 
“…waktu itu ada mombardemen di Cicadas. Itu yang sekarang dekat toko Matahari. Ya, ngangkut mayat-mayat. Saya kebagian yang ketiga hari lah. Ya, udah hancur... Sampai enggak bisa makan,” kata salah seorang narasumber, Euis Saariah, yang dikutip tim penulis buku Saya Pilih Mengungsi, Ratnayu Sitaresmi, Aan Abdurachman, Ristadi Widodo Kinartojo,Ummy Latifah Widodo.
 
Pasukan Inggris-NICA juga mengobrak-abrik rumah penduduk di Lembang, kemudian Sukajadi, Andir.
 
Bahkan 20 Maret 1946 atau empat hari sebelum peristiwa Bandung Lautan Api, tentara Inggris membombardir Tegallega. Tujuannya untuk melumpuhkan TKR yang sebelumnya bermarkas di sana. Tapi saat pengeboman, TKR sudah pindah ke Situsaeur dan Andir. Akibatnya warga sipil menjadi korban.
 
Insiden Tegallega ini mendorong MP3 melancarkan protes ke UNO sebagaimana diuraikan AH Nasution. Wali Kota Bandung saat itu, Sjamsoerijal mengecam keras aksi serangan udara itu. Wali kota mempertanyakan peran Inggris sebagai pasukan perdamaian tapi malah membunuhi warga sipil dan lebih condong ke Belanda.

Kredit

Bagikan