Abad-18 kopi dari Priangan warisan Belanda pernah populer di Eropa

user
Mohammad Taufik 18 Desember 2015, 11:39 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Masyarakat Sunda di Jawa Barat memiliki hubungan erat dengan kopi. Hubungan ini dimulai ketika pemerintah kolonal Belanda mendirikan perkebunan-perkebunan kopi.

Dalam sejarahnya, benih kopi pertama yang ditanam di Jawa Barat dilakukan oleh mata-mata Belanda, Abraham van Riebeek, seperti ditulis dalam buku Wajah Wajah Bandoeng Tempoe Doeloe karya Haryoto Kunto.

Haryoto yang dijuluki 'Kuncen Bandung' mencatat, pada abad ke-18, Bandung masih berupa hutan belantara yang disebut tera incognita. Belanda yang berkedudukan di Batavia, mencurigai Bandung sebagai sarang pemberontak.

Maka sekitar 1712, Belanda mengutus Abraham van Riebeek untuk mengintai Bandung yang di kalangan pribumi dikenal dengan nama Tatar Ukur. Nama Tatar Ukur mengacu pada Dipati Ukur, penguasa Bandung abad ke-17.

Di tahun tersebut, Abraham van Riebeek mendarat di Pelabuhan Ratu yang masih dinamai Wijnkoopsbaai. Cucu pendiri Cape Koloni di Afrika Selatan ini kemudian melakukan perjalanan ke Bandung.

Di sela pengintaiannya, Abraham van Riebeek membawa benih tanaman kopi. "Dialah orangnya yang pertama kali membawa benih tanaman kopi ke Pulau Jawa," tulis Haryoto.

"Kelak usaha penanaman kopi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, bakal mendatangkan kesengsaraan bagi rakyat priangan."

Selain menanam kopi, Van Riebeek mendaki Gunung Papandayan dan Tangkuban Parahu untuk mencari belerang sebagai amunisi untuk senjata api dan meriam.

"Ia tercatat sebagai orang asing pertama yang mendaki Gunung Tangkuban Parahu, Lembang, dan Papandayan, Garut," tulis Haryoto. Akibat pendakian itu, lanjut Haryoto, ia tewas pada 1713.

Selama mengemban tugas dari pemerintah kolonial Belanda, van Riebeek melaporkan situasi dan kondisi Bandung. Laporan tersebut membuat Belanda makin sadar akan potensi Bandung sebagai lokasi strategis bagi pemberontak.

Namun baru 30 tahun kemudian Belanda menempatkan soldadunya di Tatar Bandung, yaitu kopral Arie Top, soldadu berpangkat kopral dengan jabatan setara dengan Babinsa namun wilayah tanggung jawabnya meliputi Bandung-Cimahi.

Kopi Tangkuban Parahu tembus ke Eropa

Perkebunan kopi di Tatar Priangan dibuka pada masa penjajahan Belanda. Perkebunan pertama di Tanah Priangan dibuka pada abad ke-18. Kopi hasil perkebunan ini dinamai Javakoffie yang terkenal hingga Eropa.

Sejarah perkebunan kopi tercatat dalam buku Wajah Bandoeng Tempoe Doeloe yang ditulis 'kuncen Bandung' Haryoto Kunto. Menurut Haryoto, upaya penanaman kopi di bumi Priangan sudah dilakukan oleh dua orang Belanda, Johan van Hoorn dan Hendrik Zwaardecroon, sekitar 1700-an.

Namun karena iklim dan bibit kopi yang kurang baik, usaha penanaman komoditi yang langka di Eropa itu kurang memuaskan. "Baru setelah Pieter Engelhard membuka perkebunan kopi di daerah selatan lereng Gunung Tangkubanparahu, penanaman kopi berhasil baik," tulis Haryoto.

Menurut dia, Engelhard mulai menanam kopi di perkebunannya pada 1789. Ia mengerahkan ratusan penduduk pribumi untuk membuka hutan dan menanam bibit kopi. Hasilnya sangat memuaskan pada 1807.

Bibit kopi tanaman Engelhard, kata Haryoto, kemudian menyebar luas ke perkebunan kopi lainnya di lereng Gunung Patuha, Gunung Mandalawangi, Gunung Galunggung dan Gunung Malabar. "Sejak saat itulah penduduk pribumi Priangan banyak yang beralih kerja dari sawah ke usaha perkebunan kopi," katanya.

Kopi hasil tanaman Pieter Engelhard dikenal sebagai Javakoffie. "Javakoffie cepat mendapat pasaran di Eropa. Sekaligus dapat mengganti kopi pait—buruk dan tidak enak yang sementara itu dihidangkan oleh le mauvais Café de Batavia (kafe buruk dari Batavia) di awal abad ke-18."

Pada 1789, jalan setapak yang bisa dilewati kuda mulai menghubungkan Batavia-Bogor-Ciajur-Bandung. Jalur jalan itu penting sekali bagi kepentingan ekonomi Kompeni Belanda. Pembukaan jalur darat tersebut makin memuluskan angkutan hasil bumi dari Wilayah Priangan, khususnya Tatar Bandung menuju Batavia. Angkutan barang tidak lagi dilakukan lewat sungai Citarum.

Untuk diketahui, kata Haryoto, abad ke-18 Bandung masih berupa hutan belantara. Sebelum dibukanya jalur darat, transportasi dari Batavia ke Bandung masih memakai jalur Sungai Citarum.

Kredit

Bagikan