Surga dan neraka di balik Kopi Priangan
Bandung.merdeka.com - Haryoto Kunto dalam bukunya Wajah Bandoeng Tempoe Doeloe menyebutkan perkebunan kopi yang terhampar menyimpan penderitaan bagi rakyat Priangan. Konon, kata penulis berjuluk Kuncen Bandung ini, Parahyangan adalah tempat bersemayamnya para dewa.
“Namun pada abad ke-19, wilayah ini bukanlah surga, tetapi lebih mirip sebuah “neraka” di dunia,” tulis Haryoto.
Ia mengungkapkan, Priangan menjadi andalan Pemerintah Kolonial Belanda guna menutupi kebangkrutan finansial akibat Perang Jawa (de Java Oorlog), yaitu Perang Belanda melawan Diponegoro 1825-1830.
“Perang Jawa telah menyedot kas Pemerintah Hindia Belanda hingga 20.000.000 gulden,” kata Haryoto dalam bukunya.
Masalah yang dihadapi pemerintah Belanda waktu itu bagaimana mencari uang sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat. Untuk menutupi kebobolan itu, Pemerintah Kerajaan Belanda (Raja Willem I) menyetujui usul Vanden Bosch tentang konsep tanam paksa (Cultuurstelsel). Lewat sistem ini, komoditas yang paling banyak dihasilkan Priangan adalah teh dan kopi.
Haryoto mengungkapkan, hasil tanam paksa selama 40 tahun (1831-1870), Pemerintah Kolonial Belanda telah menarik keuntungan sebanyak 823 juta gulden. Catatan lain, keuntungan yang didapat Belanda selama 1840-1879 adalah 781 juta gulden atau 22 juta gulden setahun yang sebagian besar dari hasil tanam kopi.
Negeri Belanda yang nyaris bangkrut setelah Perang Napoleon bisa bangkit kembali dengan keuntungan dari Cultuurstelsel. Kas Belanda yang hanya 33 juta gulden dapat terisi penuh.
“Sisa uang yang melimpah hasil memeras keringat dan darah bangsa Indonesia semua diangkut ke negeri Belanda. Sebagian digunakan untuk membiayai perangnya dengan Belgia,” tulis Haryoto.
Cultuurstelsel banyak menelan korban rakyat pribumi, banyak yang kelaparan di ladang garapan. Penderitaan rakyat priangan menggugah Baron van Hoevell si Pendeta dan Multatuli alias de Man van Lebak.
Kedua tokoh tersebut, lanjut Haryoto, membongkar perlakuan yang tidak adil Kolonial Belanda terhadap rakyat pribumi Indonesia. Baron van Hoevell mengecam pemerintah Belanda di Parlemen Belanda. Sementara Multatuli mengabarkan penderitaan rakyat Hindia Belanda lewat bukunya berjudul Max Havelaar.
Peran kedua tokoh tersebut membuka mata sebagian orang yang tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di tanah Hindia Belanda. Pemerintah Kerajaan Belanda menuai kecaman. Maka pada 1870 tanam paksa dihapuskan.
“Namun kewajiban tanam kopi di Priangan masih tetap di pertahankan. Kewajiban tanam kopi dihapuskan pada 1917,” tulis Haryoto.