Membaca peristiwa sejarah lewat surat-surat pribadi

user
Farah Fuadona 07 Maret 2016, 09:38 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Jauh sebelum munculnya telepon dan internet, surat dan kartu pos menjadi satu-satunya media komunikasi. Semua pesan ditulis lewat surat, baik masalah personal maupun gejolak politik dan sosial yang berdampak pada kehidupan pribadi.
 
“Lewat surat kita bisa memahami suatu peristiwa besar di masanya. Misalnya peristiwa G30S 1965. Peristiwa ini begitu dahsyat hingga ditulis dalam surat-surat personal,” kata kolektor arsip Murwidi (50), Minggu (6/3).
 
Murwidi merupakan kolektor surat yang berbicara dalam diskusi Ulin Bandoeng dengan tema Bandoeng Dalam Sorotan Doenia: Kisah Di Balik Surat-Menyurat dari Bandung/ ke Bandung 1890-1942, di Balubur Town Square (Baltos), Jalan Taman Sari, Bandung.  
 
Melalui surat, lanjut dia, bisa ditangkap peristiwa penting di masa lalu. Contohnya, ia menemukan surat dari seorang istri yang menceraikan suaminya gara-gara peristiwa G30S 1965.
 
“Tragis istri ceraikan suaminya, dampak politik bisa merusak rumah tangga. Suratnya dalam bentuk kartu pos sehingga bisa mudah dibaca. Dengan jejak seperti itu kita jadi paham betapa dahsyatnya peristiwa itu,” ungkap Murwidi.
 
Ia juga mendapat arsip tentang ikrar sertia yang harus dilakukan keturunan Tionghoa yang akan menjadi pegawai negeri. Ikrar ini menjadi bukti bahwa warga Tionghoa di masa lalu menghadapi pilihan harus memilih menjadi Warga Negara Indonesia atau warga Republik Rakyat Tionghoa.

“Soal warga keturunan harus memilih warga negara itu jejaknya masih ada,” katanya.
 
Surat unik lainnya adalah surat-surat yang dikirim orang Keraton Solo di masa Kolonial Belanda. Surat itu berasal dari Ambon. Surat ini bentuknya korespondensi, di antaranya menceritakan situasi dan kondisi di Ambon.
 
“Surat tersebut menunjukkan si penulisnya dibuang oleh pemerintah kolonial ke Ambon. Artinya ada gejolak politik di Solo yang membuat dia harus dibuang,” terangnya.
 
Dalam diskusi tersebut juga dipamerkan surat-surat di masa lalu koleksi Murwidi. Umumnya, surat ditulis dalam bahasa campuran antara melayu, daerah, Belanda, Inggris. Masa itu memang belum ada Bahasa Indonesia.
 
Diskusi tersebut dipandu moderator dari Komunitas Gamboeng Vooruit, Andrenaline Katarsis. Menurut Katarsis, tulisan bersifat lebih abadi daripada ucapan. Buktinya dengan surat-surat di masa lalu yang hingga kini masih bisa ditemukan dan dianalisis.
 
“Tulisan akan mengabadi, yang terucap akan berlalu seperti angin,” katanya.

Kredit

Bagikan