Militansi seniman Bandung di masa 'politik adalah panglima'

user
Farah Fuadona 04 April 2016, 11:00 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Di masa perjuangan, seniman turut mewarnai jalannya sejarah bangsa melalui karyanya. Begitu pula di saat republik ini lahir di mana jargon “politik adalah panglima” yang membuat seniman harus berpolitik.

Pengalaman tersebut dialami saksi sejarah sekaligus pelaku kesenian di Bandung, Wigandi Wangsaatmadja. Pria kelahiran 1933 ini sudah aktif berkesenian sejak masa penjajah Belanda, kemudian di masa Orde Lama dan Orde Baru.

Direktur Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK) Bandung tahun 1957 ini mengungkapkan, setiap masa memiliki ciri khas masing-masing, termasuk dalam berkesenian. Namun tiap masa memiliki persamaan yang khas, bahwa seniman dituntut memiliki jiwa militan.

“Tanpa jiwa militan sulit melakukan pengembangan kesenian yang bisa diwariskan untuk anak-cucu,” kata Wigandi, kepada Merdeka Bandung.

Ia menuturkan, di masa Orde Lama terjadi persaingan sengit dan panas dunia politik yang merembet ke dunia kesenian. Terjadi dikotomi antara seniman simpatisan PKI dan non-PKI.


“Pokoknya zaman itu begitu hingar bingar, sulit digambarkan dengan kata-kata,” kata pria yang masih keturunan ningrat ini.

Wigandi sendiri bergabung dengan YPK yang non-PKI. Waktu itu YPK berusaha ditarik untuk ikut pada aliran politik tertentu. Puncaknya adalah peristiwa G30S yang membuat dunia kesenian surut, begitu juga kegiatan di YPK.

Padahal sebelumnya YPK sedang mengalami masa keemasan dengan menjadi pusat pelatihan tari khas Jawa Barat, tari Bali, tari balet, wayang, sandiwara atau tonil, dan lain-lain.


Tetapi para seniman berusaha bangun, agar seni tak benar-benar padam. Di YPK para senimannya bahu-membahu menyusun program hingga merenovasi gedung. Wigandi dan seniman lain harus merogoh kocek sendiri demi kegiatan kesenian.

Malah pada 1970 Wigandi nekat minjam uang ke Bank Pembangunan Daerah Rp 1,4 juta. Dana ini dipakai untuk membetulkan atap YPK yang bocor. Ia sendiri yang menyicil pinjaman tersebut, demi menghidupkan program kesenian.

Para seniman yang melatih di YPK juga tidak menerima gaji dari pemerintah. Meski demikian, mereka tetap semangat mengajar dan mengembangkan kesenian. “Ada pelatih tari yang mengalami kecelakaan hingga harus dirawat sebulan. Biaya perawatan ditanggung sendiri. Setelah sembuh dia kembali melatih,” katanya.

Ada juga pelatih yang menyumbangkan piano untuk mengiringi latihan tari balet. “Jiwa seniman dulu betul-betul demi pengembangan dan pembinaan kesenian,” ujarnya.

Ia melihat, tantangan seniman dulu dan kini berbeda. Jika dulu pengabdian tanpa pamrih menjadi tantangan utama. Kini para seniman menghadapi godaan materi yang kadang harus menggadaikan idealisme seni.

“Dulu tidak ada orientasi bisnis, tapi betul-betul pengembangan seni budaya,” ujarnya.

Kredit

Bagikan