Soeria pegiat sastra Tionghoa-Indonesia, yang ogah disebut sastrawan

user
Farah Fuadona 06 Februari 2016, 14:37 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Bu Ru Liang atau akrab disapa Soeria Disastra merupakakan pegiat sastra Tionghoa-Indonesia kelahiran Bandung 72 tahun lalu.

Meski aktif menulis puisi, ia menolak disebut sastrawan. Baginya, sebutan sastrawan terlalu berat, bahkan agung. “Saya hanya pegiat sastra Tionghoa-Indonesia. Saya pecinta sastra,” katanya, dalam perbincangan di Bandung beberapa waktu lalu.

Ia mencintai sastra Sunda, Indonesia, Tionghoa dan memadukan tiga khasanah tersebut ke dalam karyanya. Pendiri Kelompok Pecinta Sastra (KPS) Bandung ini rajin menterjemahkan puisi-puisi penyair Tanah Air ke dalam bahasa Mandarin, dengan maksud mengenalkan penyair Tanah Air kepada warga Tionghoa.

Terjemahannya itu antara lain puisi-puisi Chairil Anwar, Amir Hamzah, Sitor Situmorang, Taufik Ismail, Subagyo, Saut Situmorang, Sapardi, Acep Zam-zam Noor. Malah di masa Orde Baru ketika warga Tionghoa dikekang, ia menterjemahkan sajak-sajak pilihan karya sastrawan Ramadan KH berjudul Priangan Si Jelita.

Tidak hanya itu, ia juga mengenalkan para penyair Tionghoa lewat buku terjemahan bahasa Mandarin ke bahasa Indonesia. Di antaranya buku kumpulan puisi dengan judul Tirai Bambu tahun 2006. Buku ini berisi 100 puisi modern awal abad ke-20 hingga 1949.

Yang menarik, ia juga menterjemahkan 65 puisi karya tokoh revolusioner Republik Rakyat Tionghoa, Mao Zedong atau Mao Tse-tung, ke dalam bahasa Indonesia Salju dan Nyanyian Bunga Mei. Buku ini menampilkan sisi lain Mao Tse-tung. Menurut Soeria, puisi-puisi Mao begitu puitik dan romantis.

Karya Soeria sendiri antara lain prosa Putra Putri Tionghoa di Nusantara, buku puisi Senja di Nusantara, Antologi Prosa dan Puisi yang terbit 2004. Karya-karya ini dimuat di berbagai harian, majalah sastra bahasa Tionghoa, dan beberapa buku antologi prosa sarta puisi bahasa Tionghoa- Indonesia.

Melalui Kelompok Pecinta Sastra, Bandung, yang didirikannya ia berusaha memperkenalkan sastra Tionghoa-Indonesia maupun sastra Tionghoa-Sunda. Tujuan KPS sendiri mendalami dan mengenal kebudayaan Sunda dan Indonesia lewat sastra.

Pada 2002, KPS menggelar lomba cerita pendek bahasa Sunda yang hasilnya dibukukan lewat kumpulan cerpen Ti Pulpén tepi ka Pajaratan Cinta.

Upaya Soeria yang memadukan budaya Tionghoa dan budaya Sunda terlihat dalam puisinya berjudul Saya Tidak Pernah Melihat Bulan Tiongkok. Lewat puisi ini ia memadukan mitos yang ada di negeri Tionghoa dan mitos yang ada di masyarakat Sunda.

“Di negeri Tiongkok ada mitos seorang dewi yang terbang ke bulan, yakni Dewi Chang E, yang kesepian karena di bulan sendirian. Sedangkan di Tatar Sunda ada mitos tentang Nini Anteh yang juga terbang ke bulan,” tuturnya.

Dalam puisi itu ia berharap Dewi Chang E yang kesepian bertemu dengan Nini Anteh. Sehingga mereka bisa saling menemani.

“Puisi itu saya buat karena saya memang belum pernah melihat bulan di Tiongkok. Puisi ini disebut-sebut (pengamat) memadukan budaya Tionghoa dan Sunda,” katanya.

Kredit

Bagikan