Pengaruh LGBT pada anak bisa dicegah di keluarga

user
Farah Fuadona 09 Februari 2016, 19:40 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Di era internet ini anak-anak begitu mudah mendapatkan informasi. Termasuk terhadap informasi yang kini gencar diekspos seperti isu lesbian, gay, biseksual dan transgender atau transeksual (LGBT). Maka orang tua memiliki peran penting agar anak tidak terpengaruh kampanye-kampanye LGBT.

Hal itu terungkap dalam Obrolan Teras Sindo yang mengangkat tema “LGBT, Bagaimana Kita Bersikap” dengan narasumber konsultan perlindungan anak, Suratman dan Ketua MUI Jawa Barat Rachmat Syafii, di Bandung, Selasa (9/2).

Menurut Suratman, peran orang tua dan pola asuh keluarga terhadap anak menjadi faktor utama dalam membentengi anak dari paham LGBT. Keluarga, kata dia, harus memberikan pemahaman baik dari sisi agama maupun edukasi seksual.

"Kalau fondasi dari keluarganya kuat, interaksi anak dengan lingkungan juga tidak akan mengkhawatirkan. Anak tidak akan mudah terpengaruh lingkungan jika keluarganya menanamkan fondasi yang kuat," katanya.

Menurutnya, selama ini lingkungan sering kali menjadi kambing hitam jika terjadi prilaku penyimpangan pada anak. Padahal, pola asuh di keluargalah yang menjadi alarm bagi anak saat menghadapi lingkungan. "Saya tak setuju menyalahkan lingkungan. Penyimpangan pada anak besar kemungkinan karena produk gagal dari pengasuhan di keluarga," katanya.

Jika ingin mengurangi efek pengaruh LGBT, sambung dia, maka harus dilakukan pencegahan dengan cara melakukan penguatan pada keluarga. "Keluarga harus memberikan pemahaman yang terbaik pada anak. Sebab bisa juga LGBT timbul karena gagalnya pengasuhan pada anak," katanya.

Pihak keluarga, kata dia, terutama orang tua harus mengarahkan orientasi seks anak kepada lawan jenis, bukan kepada sesama jenis. Pengarahan ini, kata dia, tentu harus disampaikan dengan cara-cara terbaik.

Sebagai pegiat perlindungan anak, ia pernah menemukan kasus anak memiliki orientasi seksual ke sesama jenis. Setelah diselidiki, ternyata orientasi tersebut didapat dari keluarganya sendiri.

"Saya pernah bertemu dengan beberapa anak seperti itu. Orientasi seks berubah tidak secara tiba-tiba, tapi sebelumnya dia pernah disodomi kakeknya," tuturnya.

Sementara Ketua MUI Jabar Rachmat Syafii mengatakan, pemerintah harus menutup semua akses informasi yang berkaitan dengan LGBT. Pemerintah tidak boleh membiarkan kaum LGBT bebas menggunakan media sosial sebagai media kampanye penyebaran ekspresi mereka.

"Jika informasi itu dibiarkan terbuka, akan membuat hilangnya budaya malu. Hilangnya rasa malu akan membuat anak terbiasa dengan tampilan berbagai kekejian tersebut, karena dibuka-buka. Jadi harus ditutup," kata dia.

Ia menegaskan, baik secara hukum agama maupun hukum positif di Indonesia pernikahan sesama jenis tidak dibenarkan. "Agama Islam maupun agama manapun juga tidak membenarkannya," tandasnya.

Kredit

Bagikan