Cara mengelola sampah yang cerdas dan bertanggung jawab

user
Muhammad Hasits 19 Januari 2016, 11:01 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Sampah masih menjadi persoalan utama bagi masyarakat Indonesia, termasuk di Bandung. Sedangkan perlakuan terhadap sampah sudah ketinggalan zaman di saat jenis-jenis sampah yang makin beragam, mulai sampah plastik hingga sampah kimia berbahaya.

Pengelolaan sampah di Kota Bandung sendiri masih menerapkan pola kumpul-angkut- buang. Prosesnya meliputi membuang sampah ke tong sampah, ditarik petugas kebersihan ke tempat pembuangan sementara (TPS), diangkut lagi ke tempat pembuangan akhir (TPA).

Ada cara lain yang lebih cerdas dalam mengelola sampah. Juru bicara Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB), Anilawati Nurwakhidin, mengatakan memperlakukan sampah dengan pola kumpul angkut buang hanyalah memindahkan sampah dari satu titik ke titik lain.

Cara tersebut hanya menimbulkan masalah baru: TPA akan kelebihan kapasitas yang dampaknya bisa berbahaya bagi jiwa manusia seperti longsor sampah Leuwigajah, Kota Cimahi, 2005. Waktu itu sampah dari Kota Bandung yang dibuang ke TPA Leuwigajah mengalami longsor yang menelan korban ratusan jiwa.

Belum lagi biaya pengangkutan sampah tiap harinya menelan ratusan juta rupiah berasal dari iuran warga. Dalam teori persampahan, kata Anilawati, pola kumpul angkut buang disebut pola sentralistik, yaitu memusatkan pembuangan sampah di satu titik.

Sedangkan cara baru lebih bertanggung jawab adalah pola desentralisasi. “Desentralisasi adalah pengelolaan sampah yang dilakukan di satuan terkecil masyarakat, yaitu dari keluarga atau diri sendiri,” kata Anilawati saat berbincang dengan Merdeka Bandung baru-baru ini.

Staf kampanye zero waste Bandung ini mengatakan, desentralisasi sampah bentuknya bisa berupa pemisahan sampah organik dan non-organik yang dimulai di rumah tangga. Artinya, di dalam rumah minimal ada dua tong sampah, yakni tong sampah organik yang berupa sampah sisa makanan, sayuran, dan sampah alami lainnya.

Satu tong lagi adalah tong sampah non-organik atau tidak alami untuk mewadahi sampah-sampah yang tidak bisa diurai secara alamiah seperti sampah plastik. Ia menyebutkan, 50 persen sampah rumah jenis organik bisa diurai secara alami.

Menurutnya, seharusnya sampah organik tidak boleh disatukan dengan sampah non-organik yang kemudian dibuang ke TPA. Sampah organik bisa diolah sendiri dengan metode takakura atau kompos.

“Semua sampah organik bisa dijadikan kompos yang akan hancur oleh bakteri pengurai,” katanya. Cara membuat takakura, lanjut dia, masukan tanah ke dalam wadah keranjang atau ember yang sudah diisi bakteri pengurai. Bakteri bisa didapat di toko kompos organik.

Lima puluh persen lagi sampah rumah tangga bersifat non-organik yang masih bisa dipilah lagi. Caranya, pisahkan sampah mana bisa didaur ulang dan mana yang tidak. Dari 50 persen sampah non-organik, kurang lebih 20 persennya berupa sampah non organik bisa didaur ulang seperti botol air mineral. Sampah daur ulang tersebut bisa dijual atau diberikan ke tukang rongsokan.

Sisanya atau sekitar 30 persen lagi adalah adalah sampah non-organik tak dapat didaur ulang. Jadi 30 persen sampah inilah seharusnya berada di tong sampah untuk diangkut petugas kebersihan yang akan dibawa ke TPA. Dengan cara demikian, otomatis TPA tidak akan kelebihan muatan.

Kredit

Bagikan