Mitigasi Bencana Tsumami, Indonesia Perlu Belajar dari Jepang
Bandung.merdeka.com - Peristiwa gempa disusul tsunami yang terjadi di Palu pada Oktober lalu, seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah di tanah air. Akibat dari peristiwa ini lebih dari 2.000 orang meninggal dunia. Belum lagi peristiwa tsunami yang baru-baru ini terjadi di pesisir Selat Sunda.
Secara karakteristik, gempa yang terjadi di Palu berbeda dengan tsunami yang terjadi di Aceh pada tahun 2004. Ketika tsunami Aceh terjadi, pusat terjadinya titik gempa terletak di dalam laut sehingga menimbulkan gelombang yang tinggi lagi panjang. Sementara di Palu, pusat titik gempanya terjadi di darat, namun dapat menyebabkan tsunami di laut.
Ahli tsunami Institut Teknologi Bandung, Mohammad Bagus Adityawan mengatakan, bahwa bentuk pantai di Palu cukup berbeda dibanding di wilayah lain yakni dengan adanya bagian laut yang menjorok ke darat atau biasa disebut dengan teluk. Keberadaan teluk ini berdampak ketika ombak yang menghadang, ia akan berkumpul kemudian menghantam sisi pantai dan berkumpul di area yang sama, sehingga menyebabkan besarnya gelombang yang dihasilkan akibat hantaman ke arah pantai.
Ketika melakukan kunjungan ke pantai Taipa di Palu, dosen ITB dari Kelompok Keahlian Sumber Daya Air ini, menemukan tetrapoda blok beton pantai yang sudah berantakan dan rusak. Alat ini berguna untuk menahan dan memecah ombak yang menghampiri pantai. Namun sayang, kondisinya saat ini sudah berjatuhan dan terguling. Sebagai perhatian, ketika tsunami menghantam daratan, masyarakat perlu sadar bahwa gelombang air tersebut akan menarik kembali ke arah laut dengan lebih kuat.
"Sehingga perlu diantisipasi juga tarikan ke laut oleh warga pesisir jika hal yang sama terjadi," ujar Bagus seperti dikutip laman ITB, Jumat (4/1).
Menurut dia, sudah sepatutnya Indonesia belajar dari Jepang perihal tsunami. Di Jepang kata Bagus melakukan multi defense, yaitu pembuatan tanggul secara berlapis. Seperti tanggul untuk di pinggir pantai, kemudian jalan raya yang turut didesain sedemikian rupa agar dapat menjadi benteng pertahanan air.
"Karena tujuan dari ikhtiar ini tentu bermuara pada minimalisasi dampak kerusakan dan korban. Karena bencana alam tak bisa ditahan, hal tersebut tak mungkin dihilangkan dan sudah ketentuan dari Tuhan," ucap Bagus yang meraih gelar doktoral di Universitas Tohoku Jepang.
Ia juga menyampaikan bahwa sangat mungkin ada usulan program yang dapat diterapkan oleh ITB dan pihak-pihak terkait mengenai pengembangan sumber daya air. Misalnya, pembuatan master plan tata air, pengaturan saluran irigasi yang terputus agar dapat mengairi sawah atau perkebunan di sekitar, dan penyusunan sistem drainase.
"Karena tampaknya belum ada usulan terkait hal ini. Semoga ke depannya dapat direncanakan program-program untuk kembali membangun dan membangkitkan Palu, Sigi, serta Donggala," kata dia.
Tak hanya itu, ahli tsunami yang sekaligus lulusan ITB ini juga melihat dampak tsunami pada sungai sekitarnya. Tsunami yang masuk kembali ke sungai seperti masuk jalan tol, dapat berhenti setelah berkilo-kilo meter jauhnya. Jika terjadi tsunami kembali, perlu dilakukan perhitungan seberapa jauh dampak tsunami berpengaruh pada sungai di sekitarnya, atau bahkan zonasi serta perlindungan terhadap tsunami itu sendiri. Ada baiknya, diberlakukan aturan izin pembangunan lahan maksimal 100 meter dari pantai sehingga dapat mengurangi risiko korban.