Perayaan imlek dan barongsai sarat dialog lintas budaya

user
Farah Fuadona 06 Februari 2016, 16:41 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Komunikasi atau dialog menjadi kunci penting bagi masyarakat majemuk seperti Indonesia. Hal ini dirasakan betul oleh pegiat sastra Kelompok Pecinta Sastra Bandung, Soeria Disastra.
Sebagai pegiat sastra yang mendalami tradisi sastra Sunda, Indonesia dan Tionghoa, Soeria yakin bahwa perbedaan bisa hidup rukun berdampingan. Di balik perbedaan tersebut ada persamaan. Hal itu ia temukan selama mempelajari sastra.

Menurut pria kelahiran Bandung 72 tahun lalu ini, sastra sangat berperan dalam mengasah jiwa seseorang. Orang yang mengakrabi sastra dituntut untuk bijaksana, menghormati kemanusiaan, dan berbudaya. “Sastra mengajarkan manusia untuk empati terhadap sesama dan alam,” katanya.

Namun ia tidak menampik jika ada penyair atau sastrawan yang kelakuannya bertolak belakang dengan nilai-nilai sastra, karena manusia tidak lepas dengan sifat manusiawinya termasuk sifat negatif yang ada di dalam dirinya.

Adanya sastrawan yang berbuat buruk, tentu tidak bisa menyalahkan sastra. Begitu juga dengan adanya sekelompok agama tertentu yang berbuat buruk terhadap kelompok lain tidak bisa menyalahkan agama.

Menurutnya, setiap manusia, satu kelompok, etnis, agama, tertentu secara alami memiliki sifat ekslusif. Sifat ini sebenarnya bentuk sekat-sekat yang bisa dihilangkan. Caranya, lewat dialog atau komunikasi.

“Orang-orang yang sadar dan plural harus berjuang runtuhkan sekat-sekat, ini adalah jalan yang panjang,” katanya.

Baginya, perbedaan bukan untuk dipertentangkan. “Kita yang penting komunikasi. Jika ada komunikasi mungkin bisa saling mengenal. Bahwa ternyata dari yang berbeda itu ada kesamaan,” ungkapnya.

Contohnya, kata dia, setiap Imlek di negeri Tiongkok ada tradisi mudik atau gelombang manusia yang pulang ke kampung halaman. “Lebaran di kita juga sama, ada tradisi mudik. Di Tiongkok libur imlek diperpanjang supaya lebih leluasa. Malamnya keluarga besar berkumpul dari yang muda dan tua silaturahmi makan bersama, kan di Indonesia juga sama begitu,” ungkapnya.

Pada dasarnya, kata dia, pulang atau mudik untuk berkumpul dengan keluarga dirasakan semua manusia. Hal ini menjadi persamaan mendasar antara mudik dalam tradisi lebaran maupun imlek. “Kalau diselami banyak persamaannya karena kita sama-sama manusia,” ucapnya.

Soera sendiri sudah akrab dengan lingkungan budaya Sunda. Ia lahir dan dibesarkan di Bandung dalam bahasa Tionghoa dan Sunda. Perbedaan lingkungan tersebut membuat pandangannya lebih luas dan terbuka. “ Makin bersentuhan dengan budaya berbeda kita akan lebih luas pandangannya,” katanya.

Ia juga terharu saat kesenian barongsai kini mulai dimainkan secara luas, bukan hanya oleh masyarakat Tionghoa saja. Permainan barongsai juga sebagai produk budaya sebagai sarana komunikasi.

Kredit

Bagikan