Gemar membaca cerita Harry Potter, membuat pria ini menyukai sejarah
Bandung.merdeka.com - Pria kelahiran Bandung 1985 ini kini sedang menulis buku sejarah tentang Bandung. “Insya Allah akan ada yang baru,” kata penulis Okultisme di Bandoeng Doeloe: Menelusuri Jejak Gerakan Freemasonry di Bandung, M. Rizky Wiryawan.
Dalam diskusi Jiwa Muda Koleksi Tua: kisah para kolektor muda pengumpul buku tua, di Balubur Town Square (Baltos) Bandung, Minggu (24/1), Rizky memamerkan buku-buku tua koleksinya. Antara lain buku riwayat Soekarno, presiden pertama RI, yang ditulis dalam bahasa Sunda oleh penulis bernama Wiranta.
Meski ukurannya mirip buku saku, buku riwayat Soekarno itu adalah sumber primer. Wiranta adalah aktivis Partai Komunis Indonesia yang dibuang ke Digoel. “Makin tua usia buku makin primer. Misalnya buku tentang Bandung yang ditulis di masa kolonial akan lebih akurat dibandingkan buku yang ditulis sesudahnya,” katanya menjelaskan kenapa ia mengoleksi buku-buku tua.
Lulusan S1 Administrasi Negara Unpad dan S2 Studi Pembangunan ITB itu menuturkan, awal menyukai buku saat masih SMA. Waktu itu antara 2001-2005 ia gemar membaca buku-buku cerita, di antaranya Harry Potter.
Pada 2006 ia turut mendirikan komunitas wisata sejarah bernama Aleut yang hingga kini masih aktif. Dengan rekan-rekannya di Aleut, ia menjalankan program pengumpulan sejarah tentang Bandung yang sangat tercecer.
Komunitas tersebut merujuk pada buku-buku tua, di antaranya buku yang ditulis ‘Kuncen Bandung’ Haryoto Kunto yang kini menjadi klasik, yakni Wajah Bandoeng Tempo Doeloe dan Semerbak Bunga di Bandung Raya.
Namun ia meyakini masih banyak sejarah Bandung yang belum diungkap, di antaranya sejarah freemason ia ia tulis Okultisme di Bandoeng Doeloe (2014). Ia mengaku, tujuan awal mengoleksi buku-buku kuno khususnya tentang sejarah Bandung lebih karena hobi menyukai sejarah.
Namun yang namanya hobi sejarah, tidak lepas dengan mengoleksi buku-buku sejarah dan akhirnya melakukan riset sejarah. “Karena sejarah sangat menghargai karya tulis,” kata pengelola toko buku Sadness Bookstore ini.
Sebagai pecinta buku, masalah harga bukan yang utama. Baginya setiap buku berharga, tidak ada istilah buku murah, terlebih buku tua. Menurutnya, buku yang usianya 100 tahun berbeda dengan buku saat ini.
Di masa lalu membuat buku memiliki kesulitan yang tidak dialami penerbit masa kini. Ada perbedaan dari segi teknik pembuatan, kelangkaan, serta isi. Semua itu yang menentukan harga buku antik. “Jadi tidak ada buku murah,” katanya.
Ia juga meyakini, buku sejarah tentang Bandung sebaiknya dipegang oleh orang Bandung sendiri. Dengan begitu akses untuk membaca sejarah Bandung jadi lebih mudah. Ia pun terbuka pada siapapun yang ingin melihat koleksi bukunya di rumahnya Jalan Sumur Bandung.