Indra Prayana, kolektor muda mengoleksi buku abad ke-19

user
Farah Fuadona 25 Januari 2016, 10:26 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Bagi kalangan pecinta buku Bandung, Indra Prayana dikenal sebagai kolektor buku abad ke-19. Indra sendiri mengaku, mengoleksi buku tua sudah menjadi hobi sebagaimana hobi lainnya,  memelihara burung misalnya.

“Yang namanya hobi kadang tidak rasional. Seperti penggemar burung, harga tidak ada ukuran. Begitu juga dengan buku,” kata Indra, dalam diskusi Jiwa Muda Koleksi Tua: kisah para kolektor muda pengumpul buku tua, di Balubur Town Square (Baltos) Bandung, Minggu (24/1).

Sebuah buku bisa ia beli ratusan ribu per buahnya. Kadang sebuah buku ia dapat dengan cara barter dengan buku lainnya.

Baginya, julukan kolektor buku abad ke-19 agak berlebihan. Sebab, koleksi buku abad ke-19 artinya mengoleksi buku tahun 1800 sampai akhir 1900-an.

Meski demikian ia memang mengoleksi buku-buku lawas atau antik. Menurutnya, buku yang masuk kategori antik bisa dilihat dari beberapa kriteria. “Kriteria subjektif tentunya,” ujar alumus Universitas Langlangbuana ini.

Sebuah buku yang disebut antik bisa dilihat dari umurnya, standarnya di atas 50 tahun. Usia umur masih bisa diperdebatkan mengingat kriteria ini sudah ada sejak ia masih kuliah.

Kriteria lainnya adalah langka, yaitu buku favorit di masanya yang kini tak lagi dicetak. Misalnya buku Semerbak Bunga di Bandung Raya karya Haryoto Kunto.

Ada juga buku masuk dalam kategori antik karena dicetak untuk kalangan tertentu dan jumlahnya terbatas. Kemudian buku yang ditulis tokoh tertentu. Ia kemudian menunjukkan buku Kartosuwirjo yang ditulis pada 1946. “Kartosuwirdjo merupakan tokoh kontroversial di zamannya,” jelasnya.

Manusia Silver di Bandung yang Harus Anda Ketahui
© 2016 merdeka.com/Iman Herdiana


Selain itu, ia juga memiliki buku yang ditulis DN Aidit, tokoh yang menjadi Sekjen Partai Komunis Indonesia, berjudul Setan-setan Desa. “Buku ini ada tanda tangan DN Aidit,” ujarnya.

Kategori lainnya, sambung dia, buku tersebut harus unik, yaitu memiliki ciri khas. Contohnya ia memiliki buku tebal tentang Islam yang mengulas hal-hal tabu.

Ia juga menunjukkan buku antologi cerita Sunda yang ditulis dalam Bahasa Belanda pada 1891. Ada juga buku Abdullah Kadir Munsyi tentang pelayarannya ke Singapura. Buku ini terbit tahun 1838.

Pria kelahiran Tasikmalaya ini mulai mengoleksi buku sejak 2005. Selepas kuliah, ia terinspirasi jualan buku tua di komplek Pasar Cihaurgeulis, Jalan Suci. Sosok yang menginspirasinya tidak lain penjual buku di pasar tersebut bernama Hidayat.

“Dari Pak Hidayat saya banyak mendengar cerita seputar buku antik,” ujar pendiri Jaringan Buku Alternatif (JBA) Bandung.

Kredit

Bagikan