Cerita Tutiana "Pak Ogah" pengatur lalu lintas di Jalan Cipadung

user
Farah Fuadona 10 Desember 2015, 16:45 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Jika Anda sering melewati kawasan Jalan Cipadung, tepatnya di pertigaan Cilengkrang II, pasti tak asing lagi dengan sosok wanita berjilbab yang sedang mengatur lalu lintas di kawasan tersebut.

Dengan sigap Ia mengatur setiap kendaraan yang berlalu-lalang. Teriknya sinar matahari tak mengurungkan niatnya melakukan pekerjaan yang biasanya tak lazim dilakukan oleh seorang wanita. Namun padatnya lalu lintas di kawasan itu justru menjadi rezeki bagi dirinya mencari nafkah.

Sosok wanita itu ialah Tutiana (40), ibu dari empat anak ini sudah lima tahun melakoni pekerjaan yang biasa orang-orang menyebutnya "Pak Ogah". Tak sedikit pun Ia merasa malu dengan pekerjaan yang dilakukannya saat ini. Hal ini semata-mata dilakukan demi mencari nafkah bagi keluarganya.

"Sejak 2009 Ibu ke sini. Minta izin ke RT dan RW. Anak-anak ingin makan tapi gak ada nasi. Makanya ibu turun ke jalan," ujar wanita yang akrab disapa Tuti kepada Merdeka Bandung.

Layaknya seorang polisi yang sedang bertugas mengatur lalu lintas, peluit di bibirnya seakan tak pernah berhenti berbunyi. Sebuah light stick di tangan kanan, rompi berwarna hijau lengkap dengan topi ala cowboy.

Beberapa uang koin ia dapatkan dari sejumlah pengendara roda empat yang melintas di pertigaan. " Kadang ada yang ngasih. Kadang juga enggak.  Dikasih syukur, gak dikasih juga teu nanaon ibu mah," ujarnya dengan logat sundanya yang kental.

Dari pekerjaannya itu, penghasilan yang ia dapatkan tak menentu. Jika sedang mujur Ia mendapatkan Rp 45 ribu dalam sehari. Namun jika sedang sepi terkadang hanya mendapatkan Rp 20 ribu.

"Kalau lagi ramai mah 45 ribu. Kalau biasa mah Rp 30 -40 ribu tapi pas sepi 20 ribu," ucapnya.

Jika waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang, Tuti pulang ke rumah membawa hasil keringatnya. Dia mulai bekerja sejak jam 6 pagi. Penghasilan yang didapatkan, ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

Bekerja di jalanan, bukannya tanpa risiko. Pernah ia tertabrak pengendara sepeda motor yang melintas di kawasan itu sehingga membuatnya harus absen bekerja selama 10 hari. "Pengendaranya gak tanggung jawab," kata Tuti.

Tuti bukannya tak mau beralih pekerjaan, namun keadaan yang membuatnya harus bekerja di jalan. Dulu pernah ia menjadi pembantu di perumahan kawasan Cipadung. Tapi penghasilan sebesar Rp 200- 250 per bulan tak mampu memenuhi kebutuhannya dan memilih berhenti dari pekerjaannya itu.

Dengan pekerjaannya saat ini, ia berharap dapat menyekolahkan kedua anaknya yang masih SD dan SMP agar bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Segala keterbatasan tak lagi menjadi soal. Di benaknya saat ini hanya ingin anak-anaknya menjadi orang sukses.

"Rezeki mah dari mana aja, yang penting hati Ibu Ridho Lillahi ta`ala," ujar Tuti.

Kredit

Bagikan