APTI Nilai Penggabungan Produksi SPM dan SKM Kurang Tepat
Bandung.merdeka.com - Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menilai keputusan Komisi XI DPR RI dalam menghendaki dilakukannya penggabungan volume produksi Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM) kurang tepat.
Soalnya, APTI menili bahwa adanya penggabungan dua hal tersebut mampu memicu persaingan yang tidak sehat pada ekosistem industry hasil tembakau di Tanah Air. Untuk itu, APTI menantang Komisi XI DPR RI untuk mendorong pemberlakukan kebijakan disparitas cukai.
Tantangan ini perihal cukai lebih tinggi kepada rokok non bahan baku local atau SPM dibandingkan dengan cukai untuk rokok kretek atau SKM.
"Usulan penggabungan segmen SKM dan SPM itu jelas kurang tepat. Sebab, hal itu justru akan memicu persaingan yang tidak sehat pada ekosistem industri hasil tembakau di Indonesia,” ujar kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional APTI Agus Parmuji, dalam keterangan persnya, Jumat (1/3).
Penolakan APTI terhadap usulan Komisi XI DPR RI utamanya didasarkan pada perbedaan generik biologis SPM dan SKM. Sehingga, kebijakan terhadap kedua produk tembakau tersebut tidak dapat disatukan. Agus bahkan meyakini, usulan yang didesakkan oleh politisi Senayan tersebut akan melibas produksi hasil pertanian tembakau nasional.
"Sebab, produksi SKM yang merupakan penyerap bahan baku tembakau nasional tidak akan mampu bersaing di pasaran dengan SPM yang sudah memiliki brand nasional," tegasnya.
Sebelumnya, pada awal Februari lalu, beberapa anggota Komisi XI DPR RI kencang menyuarakan desakan kepada pemerintah untuk menggabungkan volume produksi SKM dan SPM pada 2019 ini. Mereka berpendapat, penggabungan kedua segmen tersebut akan menghindarkan negara dari kebocoran penerimaan cukai.
Anggota Komisi XI dari Fraksi PDI Perjuangan, Indah Kurnia, misalnya, menyebut penggabungan SKM dan SPM akan memaksimalkan penerimaan negara dari cukai. Penggabungan ini juga akan menghentikan praktik penghindaran pajak pabrikan rokok asing besar, yang saat ini masih menikmati tarif cukai murah.
"Jika hal ini dilakukan, maka kebijakan tersebut juga akan melindungi pabrikan rokok kecil dari persaingan harga dengan pabrikan asing besar," dalih Indah.
Hal senada disampaikan anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Amir Uskara. Kata dia, penggabungan SKM dan SPM harus tetap direalisasikan. Sebagaimana Indah, ia tidak ingin pabrikan besar asing terus menikmati tarif cukai yang murah.
"Penundaan penggabungan justru akan menyulitkan pabrikan rokok kecil," jelas Amir.
Merespons hal itu, Agus Parmuji meminta para anggota Dewan untuk tidak melihat dari sisi pemasukan negara saja. Mereka juga harus melihat dari sisi lain, yakni terkait penyelamatan industri nasional dari hulu sampai hilir. Dari industri kretek sampai ke petani tembakau nasional.
"Bahkan, lebih jauh lagi, sampai ke pedagang asongan yang ikut merasakan dampak positif dari penjualan eceran rokok kretek," ujarnya.
Menurut Agus, kebijakan disparitas cukai merupakan langkah mulia jika ingin mengamankan pemasukan negara, sekaligus tetap menyelamatkan petani tembakau.
"Itu langkah konkret yang kami tunggu sebagai bukti keberpihakan politisi terhadap petani tembakau nasional. Petani harus menantang, berani tidak politisi dari dapil pertembakauan se-Indonesia mendorong pemerintah untuk segera menerapkan kebijakan disparitas cukai,” tegasnya.
Agus Parmuji menambahkan, keberpihakan pemerintah dan DPR terhadap petani tembakau dan buruh industri hasil tembakau sangat penting. Sebab, tarif cukai rokok menyangkut keberlangsungan hidup sektor pertembakauan. Karenanya, APTI mengimbau semua petani tembakau Indonesia untuk bergotong royong menyelamatkan Senayan (DPR RI) dari kebijakan-kebijakan yang tidak memihak petani tembakau.
"Secara khusus, APTI menginstruksikan seluruh petani tembakau untuk memilih calon wakil rakyat yang memiliki komitmen memperjuangkan hak-hak petani tembakau. Pilih caleg yang berani membentengi dan menyelamatkan tembakau dari berbagai ancaman," tegas Agus.
Sebagai ilustrasi, petani tembakau di Indonesia saat ini tersebar di 15 provinsi. Populasi terbesar berada di Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB dan Jawa Barat, dengan jumlah petani dan buruh tani sekitar 3,2 juta.