Sibuk kerja, inilah cara mengatasi dan menghilangkan stres
Bandung.merdeka.com - Menjalani pola hidup sehat, sudah banyak diaplikasikan oleh kawula muda dewasa ini. Namun, tak sedikit juga kawula muda khususnya yang hidup diperkotaan justru sangat memfokuskan diri dalam mengejar karier dan mengabaikan pola hidup karena minimnya waktu untuk mengurus diri sendiri.
Empat pilar hidup sehat yang seharusnya dijalani dengan baik justru banyak diabaikan. Padahal konsep empat pilar hidup sehat ini sangat wajib dipatuhi.
Seorang dokter sekaligus aktris, dr. Lula Kamal menjabarkan, tak sedikit orang yang justru memiliki pola hidup sehat beberapa di antara empat pilar tersebut. Padahal, semua pilar harus dijalankan secara bersamaan agar mendapatkan hasil yang maksimal.
"Empat pilar itu menjaga makan, pola istirahat, mengatur stres, dan olahraga. Nah, yang banyak enggak dihitung sama orang adalah management stres dan istirahat. Itu salah besar. Percuma ya mereka makan oke, olahraga juga bagus tapi stres dan istirahatnya enggak dijaga," ujar Lula kepada Merdeka Bandung saat ditemui dalam acara jumpa pers Zurich, Selasa (17/7).
Bicara soal perhitungan stres, lanjutnya, memang sulit. Namun, mereka yang memiliki mobilitas yang tinggi, ada baiknya menyisihkan waktu untuk sekedar melepas penat dengan menjalankan hobi yang disukai. Seperti traveling atau sekedar bercocok tanam dikebun, itu akan baik sebagai ‘me time’ saat hari libur tiba.
Tak sedikit orang yang mengalami tingkat stres tinggi untuk memutuskan datang ke dokter kejiwaan. Padahal, dokter hanya bisa sekedar memberikan obat penenang. Cara terbaik melepas stres adalah mencari kesukaan dari diri sendiri.
"Bercocok tanam itu bagus sekali sebagai pelepas stres. Tapi ya balik lagi, kita sukanya apa. Harus ada cara untuk melepaskan stres, itu enggak bisa kalau sama dokter. Salah satu cara menata stres adalah menjalani hidup seimbang. Yaitu menjalankan semua empat pilar itu," ungkapnya.
Kurangnya kemampuan dalam menata stres bisa menyebabkan seseorang terkena penyakit kritis. Kata dia, di Indonesia terdapat tiga penyakit kritis yang menyebabkan kematian, yaitu kardiovaskular, kanker, dan diabetes.
Saat ini penyakit kritis tidak terbatas pada mereka yang berusia tua. Generasi produktif di daerah urban dan sub urban turut memiliki potensi lebih tinggi akan penyakit kritis karena stres level dan gaya hidup.
"Bahkan polusi di kota besar pun menjadi penyebab maraknya penyakit kritis. Selain risiko kematian yang tinggi, penyakit kritis juga dikenal memiliki biaya medis yang tinggi, sebagai contoh biaya perawatan penyakit kanker tiap bulannya bisa mencapai 100juta," terang Lula.
Hasil riset JakPat yang bekerjasama dengan Zurich menunjukkan bahwa 88,18 persen responden yang merupakan generasi produktif menjawab bahwa manfaat biaya berobat menjadi manfaat yang paling diharapkan dari sebuah asuransi kesehatan. Lebih lanjut, menurut Tower Watson Global Medical Trend Survey Report, biaya kesehatan di Indonesia meningkat sekitar 79 persen selama periode 2010 hingga 2014.
Kementerian Kesehatan di tahun 2016 pun mengklaim bahwa penyakit kritis telah menyerap anggaran tinggi sekitar Rp 1,69 triliun atau 29,67 persen dari total anggaran nasional. Hal ini mencerminkan bagaimana beban finansial dari penyakit kritis dapat memengaruhi kesejahteraan finansial seseorang.