Kata Menteri Susi, Indonesia segera daftarkan 1100 pulau ke PBB
Bandung.merdeka.com - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, sebanyak 1100 pulau di Indonesia segera didaftarkan ke Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) agar bisa terdata secara resmi.
"KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) tahun ini akan memulai menginventaris, mendata, memberikan nama 1100 pulau didaftarkan ke PBB pada Agustus nanti," kata Susi dalam kuliah umumnya di Institut Teknologi Bandung (ITB), Jalan Ganesa, Kota Bandung, Jumat (3/2).
Dia juga mengatakan, saat ini masih banyak pulau di Indonesia belum memiliki nama. Saat didaftarkan ke PBB itulah pulau-pulau tersebut disertakan nama agar tidak diakui pihak asing. ‎Nama-nama yang didaftarkan itu nantinya akan berunding dengan pemda terdekat beserta tiga kementerian sekaligus.
Dari 1100 itu, menurut dia ada 111 pulau terluar yang akan diverifikasi dan didaftarkan agar tidak diakui negara-negara lain seperti yang sebelumnya pernah terjadi. Pulau terluar itu pastinya rentan karena akan bersinggungan dengan negara asing.
Dia menambahkan, setelah 1100 yang akan didaftarkan ke PBB pada Agustus 2017 ini, tahun depan pun direncanakan ‎akan mendaftarkan 2.800 pulau lainnya. Dengan terdaftarnya pulau-pulau kecil di Indonesia, 17 ribu pulau di Indonesia bisa terdata dan terverifikasi secara pasti jumlah dan namanya.‎
"Mudah-mudahan 17 ribu pulau kita terdaftar. Tahun ini prioritas kita pulau-pulau terluar," tuturnya.
Disinggung soal pengelolaan pulau oleh pihak pribadi, Susi mengaku secara regulasi pulau-pulau kecil diperbolehkan dikelola oleh swasta baik asing atau nasional. Namun hanya berupa hak guna pakai bukan hak sertifikat milik atau dimiliki secara penuh.
Dia menambahkan, pulau-pulau yang sudah didaftarkan itu nantinya bisa saja akan menjadi tempat wisata potensial. Kementerian pun tidak menutup kemungkinan memberikan pengelolaan pada pihak asing atau dalam negeri ‎
"Hanya hak guna kemudian 30 persen itu dikelola negara. Pengelola penyewa dalam hal ini hanya boleh maksimum 70 persen. Itupun masih harus menyiapkan 30 persennya untuk lahan hijau," ujarnya.
Sehingga tetap saja orang yang mengelola itu hanya memiliki hak guna wilayah, bukan sertifikat hak milik. "Itu tetap punya negara," ujarnya menandaskan.