Saat bakteri kebal pada antibiotik, waspadai resistensi antimikroba

user
Mohammad Taufik 21 November 2016, 13:54 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Resistensi antimikroba (Antimicrobial Resistance/AMR) saat ini menjadi ancaman yang tidak mengenal batas-batas geografis, dan berdampak pada kesehatan masyarakat, kesehatan hewan, peternakan dan pertanian. Resistensi antimikroba ditandai dengan munculnya bakteri kebal terhadap pengobatan antibiotik atau dikenal dengan 'bakteri super' (superbug), sehingga infeksi semakin sukar disembuhkan, bahkan bisa berakibat pada kematian.

Angka kematian akibat resistensi antimikroba di seluruh dunia tercatat sebanyak 700,000 jiwa per tahun, dan diperkirakan pada tahun 2050, angkanya mencapai 10 juta jiwa per tahun – jauh melebihi prediksi angka kematian akibat kanker.

"Penggunaan antibiotik yang tidak bijak dan tidak rasional, baik di sektor peternakan, perikanan, pertanian dan kesehatan masyarakat menjadi pemicu munculnya resistensi antimikroba. Antibiotik memang dibutuhkan untuk mengobati penyakit hewan, namun penggunaannya yang tidak bijak dan berlebihan dapat menimbulkan resistensi antimikroba," kata Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, I Ketut Diarmita, dari rilis yang diterima Merdeka Bandung, Senin (21/11).

Resistensi antimikroba terjadi saat mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan parasit, mengalami perubahan sehingga obat-obatan (seperti antibiotik, antifungal, antiviral dan antiparasit) yang digunakan untuk menyembuhkan infeksi yang ditimbulkan mikroorganisme ini menjadi tidak lagi efektif.

Pada kasus di hewan ternak misalnya, hewan tersebut dapat mengembangkan bakteri super di dalam ususnya. Bakteri super ini bisa sampai pada manusia melalui makanan, lingkungan (air, udara, tanah), maupun kontak langsung antara hewan dan manusia.

"Kementerian Pertanian sudah bersiaga dalam menghadapi ancaman resistensi antimikroba ini, yaitu dengan mempersiapkan pembentukan Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba- Kementerian Pertanian dan finalisasi rencana aksi nasional dan road map pengendalian resistensi antimikroba," ujar Ketut Diarmita.

Ketua FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (ECTAD) Indonesia, James McGrane, menuturkan ancaman resistensi antimikroba sangat berkaitan erat dengan perilaku kesehatan, penanganan medis, keamanan sistem produksi pangan dan lingkungan agro-ekologi.

Dalam perspektif dunia kesehatan saat ini, James menjelaskan, kejadian resistensi antimikroba tidak lagi hanya dilihat sebagai masalah yang berdiri sendiri, tetapi juga terkait dengan berbagai sektor yaitu kesehatan masyarakat, kesehatan hewan, termasuk perikanan dan akuakultur, rantai makanan dan lingkungan.

"Oleh karena itu, pendekatan 'One Health' – yaitu kesehatan terpadu yang menggabungkan sektor kesehatan masyarakat, kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan sangat diperlukan untuk mengatasi masalah yang kompleks ini," ujar James.

Pengurus Besar Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI) mendorong komunitas profesi dokter hewan untuk menggunakan antibiotik pada hewan secara bijak, demi kesejahteraan manusia.

Ketua Umum PB PDHI, Heru Setijanto, menjelaskan antibiotik harus digunakan sesuai dengan kebutuhan medis demi kesembuhan pasien dan kesehatan dalam jangka panjang. "Sebagaimana petikan Sumpah Dokter Hewan bahwa kita akan memberikan perlindungan bagi hewan demi kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, upaya medis yg dilakukan tidak boleh hanya sekedar menyembuhkan hewan namun mengabaikan kesehatan manusia yang mengkonsumsi produk hewan dan atau mengabaikan risiko resistensi agen penyakit," ujarnya.

Dia melanjutkan, "PB PDHI mendorong agar Pemerintah dapat membuat pengaturan yang ketat mengenai penggunaan dan pengawasan penggunaan antibiotik. Bersama kita sejahterakan manusia dengan menggunakan antibiotik pada hewan secara bijak," kata Heru.

Kredit

Bagikan