2025 Depresi bisa jadi penyakit nomor satu di dunia

user
Farah Fuadona 11 Oktober 2016, 10:46 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Dunia kesehatan meramalkan pada 2025 penyakit depresi menjadi nomor satu di dunia. Hal ini tidak lepas dari tekanan sosial seperti memburuknya kondisi ekonomi. Sehingga diperlukan terobosan baru dalam meningkatkan kesehatan jiwa atau mental. “Urusan mental bisa merembet ke mana-mana. Kesehatan fisik sebenarnya berangkat dari mental. Penyakit asalnya dari pikiran,” kata psikiater dr. Syafari Soma, saat berbincang dengan Merdeka Bandung.
 
Mantan Kepala Unit Ketergantungan Obat dan Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Cimahi ini menjelaskan, salah satu penyakit mental yang mengancam kesehatan masyarkat adalah skizofrenia yang oleh kalangan awam disebut gila.
 
Ia memprediksi, tiap tahunnya penderita skizofrenia di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan statistik, populasi di daerah seluas 1.000 meter sebanyak 1 persennya skizofrenik berat. Contohnya di Jawa Barat, jika penduduk Jawa Barat sebanyak 45 juta maka 45 ribu orang mengalami skizofrenik berat. “Belum termasuk yang ringan dan yang sedang yang jumlahnya bisa lebih banyak lagi. Jadi kesehatan mental ini serius,” ujar Ketua Tim Dokter Psikiatri RSUD Bayu Asih Purwakarta ini.
 
Sebagai gambaran, di RSUD Purwakarta saja dalam sehari dirinya pernah memeriksa hingga 60 pasien yang mengalami gangguan skizofrenik ringan sampai berat. Menurutnya, pasien skizofrenia kebanyakan dari kalangan ekonomi lemah. “Skizofrenia banyak terjadi di negara miskin,” katanya.
 
Ia menyarankan agar penderita skizofrenia tidak terus meningkat diperlukan sebuah terobosan baik dari pemegang kebijakan, yakni pemerintah maupun di lapangan atau tenaga kesehatannya. Pemerintah harus membuat program yang menyeluruh dalam menangani pasien skizofrenia mulai dari manajemen rumah sakit hingga pasca pengobatan.
 
Peran Rumah Sakit Jiwa (RSJ) harus berubah, bukan hanya sekedar melayani rawat jalan atau rawat inap. Perawatan diperlukan hanya untuk pasien yang gawat darurat. Di luar itu, RSJ harus menjadi pusat riset untuk mengoptimalkan poli-poli jiwa yang ada di daerah atau di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). “Peran RSUD sangat penting karena yang paling dekat dengan masyarakat,” katanya.
 
Peran pemerintah berikutnya adalah tidak diskriminatif terhadap bidang kesehatan jiwa. Misalnya kepedulian pemerintah terhadap pasien skizofrenia harus sama dengan penanggulangan HIV dan narkoba. Begitu juga dalam penganggaran. Upaya mengatasi gangguan jiwa memerlukan dukungan anggaran dari pemerintah. Namun nyatanya anggaran untuk kesehatan jiwa di daerah masih sangat minim. Padahal peran anggaran penting bagi petugas di lapangan, yaitu psikiater.
 
Berikutnya adalah peran psikiater harus berubah. Psikiater harus mau turun langsung ke lapangan untuk menjemput bola. Selama ini penanganan pasien skizofrenia masih dengan paradigma lama. Padahal skizofrenia merupakan penyakit kompleks yang penyembuhannya sangat memerlukan dukungan sosial. Ia menyarankan para psikiatris agar mau terjun ke masyarakat, melakukan edukasi tentang skizofrenia dan membangun komunitas atau relawan. “Psikiater harus mau blusukan. Kita harus datangi pasien", katanya.
 
Syafari mengaku sudah mempraktikkan blusukan tersebut selama menjabat Kepala Poliklinik Jiwa Cianjur. Dengan cara ini, psikiater justru melakukan perawatan di rumah pasien. “Cara ini lebih efektif dari pada mendatangkan pasien ke rumah sakit. Kedatangan pasien ke rumah sakit memunculkan stigma gila di masyarakat. Stigma inilah yang justru menghambat penyembuhan pasien skizofrenik,” katanya.
 
Ia menuturkan di Poliklinik Jiwa Cianjur jarang melakukan rawat inap pasien skizofrenik. Rawat inap hanya diperlukan untuk pasien yang gawat darurat. “Tentu blusukan yang dilakukan psikiater ini harus didukung oleh unsur lain terutama pemerintah,” kata Syafari.
 
Upaya jemput bola yang dilakukan psikiater memerlukan dukungan dari keluarga pasien dan masyarakat. Sehingga dalam blusukannya, psikiater harus membangun komunitas sebagai sarana edukasi dan pendekatan terhadap keluarga pasien dan masyarakat. Melalui komunitas, psikiater akan dibantu relawan. “Proses penyembuhan skizofrenia sangat membutuhkan dukungan sosial. Perlu support dari pemerintah, komunitas dan keluarga,” kata pria yang turut mendirikan Komunitas Sehat Jiwa.

Kredit

Bagikan