Rusaknya tata ruang ada kaitan dengan lunturnya konsep mistik

Ilustrasi warga desa
Bandung.merdeka.com - Masyarakat tradisional masih mempercayai ajaran leluhur terkait hutan larangan atau anker. Di balik kepercayaan itu ada nilai kearifan lokal yang menjaga agar hutan tetap lestari, pertanian berjalan, tak dijamah pembangunan atau konversi lahan.
Sosiolog Universitas Padjdjaran (Unpad) Budi Rajab mengatakan, kepercayaan masyarakat tradisional tersebut menjadi dasar terbentuknya norma-norma yang harus dipatuhi masyarakat. “Di Baduy ada pembagian-pembagian ruang, ada hutan larangan, pertanian, pemukiman. Begitu juga di Kampung Naga, Tasikmalaya dan juga di Bali. Biasanya larangan tersebut berkaitan dengan jurig (hantu), kalau ada jurignya orang tak berani,” kata Budi Rajab dalam diskusi “Menghadirkan Negara dalam Penataan Tata Ruang” di Bandung, Senin (27/6) sore.
Adanya norma-norma yang sifatnya mistik atau religi membuat masyarakat pedesaan tidak berani menyalahgunakan tata ruang. Menurutnya norma-norma tersebut perlu dipertahankan di masyarakat pedesaan dalam menghadapi persoalan tata ruang.
Contoh lain, orang Baduy menerapkan mekanisme pengusiran jika terjadi kelebihan jumlah penduduk. Jika penduduk suatu kampung sudah mengalami kelebihan kapasitas penduduk, maka ada warganya yang harus keluar kampung. “Masyarakat Baduy tidak punya mekanisme teknologis untuk mengatasi kelebihan penduduk, jadi mereka mempertahankan tradisi,” katanya.
Bahkan di masyarakat tradisional Papua, untuk mengatasi kelebihan penduduk dilakukan perang antar suku. Persoalan tata ruang sebenarnya paling parah terjadi di masyarakat modern atau perkotaan seiring dengan lonjakan jumlah penduduk. “Pada masyarakat kota jurig yang takut sama orang. Jadi itu persoalan konteks saja,” katanya.
Sebagai contoh ia menuturkan pembangunan di Bandung, salah satunya di daerah pinggiran kota Buah Batu. Dahulu kawasan ini penuh sawah yang membentang sampai Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung. Sekarang sawah tersebut tak ada lagi akibat proses konversi lahan.
Menurutnya jika dari awal negara hadir untuk membantu sektor pertanian, konversi lahan tidak akan meluas hingga ke pinggiran. “Mestinya negara hadir untuk memfasilitasi petani, misalnya mengajari dia wiraswasta atau memberi subsidi pertanian,” katanya.
BERITA TERKAIT
Pengakuan Bharada E di Balik Perintah Tembak dari Atasan
Pengakuan Bharada E di Balik Perintah Tembak dari Atasan
5 Poin Rekomendasi Kebijakan Siap Diusulkan T20 dalam Forum G20
Alami Pengapuran Sendi Lutut? Coba Minum Susu Nutrisi
Perawatan Kulit Kian Diminati, BeautieSS Resmikan Satu Klinik Baru
Aswita Dewi Ingin Batik jadi Pakaian Kekinian
Amazit T-Rex 2 Jadi Jam Tangan Pintar Bagi Para Petualang
Aplikasi Jantungku Jadi Solusi Layanan Kesehatan Jantung, Ini 6 Fitur Unggulannya
Jejak Kopda Muslimin Sebelum Ditemukan Tewas di Rumah Orang Tua
Gleaneagles Hospital Punya Inovasi Teknologi Baru Bernama Gamma Knife
Kerry Indonesia Kembali Meraih Penghargaan HR Asia Awards 2022
Gandeng Aurel Hermansyah, CKL.LOOKS Akan Rilis Produk Eksklusif
Dukungan Orangtua Dalam Tumbuh Kembang Anak di Masa Transisi Pasca Pandemi
Tidak Pelit Ilmu, Hendra Hidayat Dikenal Sebagai Pionir Implan Gigi di Indonesia
Linde Indonesia Akan Pasok Gas Industri dengan Kemurnian Tinggi ke PT Freeport
KORIKA Gelar Webinar Kecerdasan Artifisial (AI) Bidang Kesehatan
Garmin Run Club Menjadi Wadah Bagi Para Pecinta Olahraga Lari
Jam Tangan Pintar yang Bisa Jadi Pilihan Para Pelari Karena Fitur Canggihnya
Alasan Mengapa Reinvestment Keuntungan Sangat Krusial Bagi Bisnis
EdenFarm Berbagi Hewan Kurban dengan Komunitas Tani di Sekitar ECF
Trademark Market Hadir Lagi, Kini Tenantnya Lebih Banyak