Rusaknya tata ruang ada kaitan dengan lunturnya konsep mistik

user
Farah Fuadona 28 Juni 2016, 13:11 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Masyarakat tradisional masih mempercayai ajaran leluhur terkait hutan larangan atau anker. Di balik kepercayaan itu ada nilai kearifan lokal yang menjaga agar hutan tetap lestari, pertanian berjalan, tak dijamah pembangunan atau konversi lahan.

Sosiolog Universitas Padjdjaran (Unpad) Budi Rajab mengatakan, kepercayaan masyarakat tradisional tersebut menjadi dasar terbentuknya norma-norma yang harus dipatuhi masyarakat. “Di Baduy ada pembagian-pembagian ruang, ada hutan larangan, pertanian, pemukiman. Begitu juga di Kampung Naga, Tasikmalaya dan juga di Bali. Biasanya larangan tersebut berkaitan dengan jurig (hantu), kalau ada jurignya orang tak berani,” kata Budi Rajab dalam diskusi “Menghadirkan Negara dalam Penataan Tata Ruang” di Bandung, Senin (27/6) sore.

Adanya norma-norma yang sifatnya mistik atau religi membuat masyarakat pedesaan tidak berani menyalahgunakan tata ruang. Menurutnya norma-norma tersebut perlu dipertahankan di masyarakat pedesaan dalam menghadapi persoalan tata ruang.

Contoh lain, orang Baduy menerapkan mekanisme pengusiran jika terjadi kelebihan jumlah penduduk. Jika penduduk suatu kampung sudah mengalami kelebihan kapasitas penduduk, maka ada warganya yang harus keluar kampung. “Masyarakat Baduy tidak punya mekanisme teknologis untuk mengatasi kelebihan penduduk, jadi mereka mempertahankan tradisi,” katanya.

Bahkan di masyarakat tradisional Papua, untuk mengatasi kelebihan penduduk dilakukan perang antar suku. Persoalan tata ruang sebenarnya paling parah terjadi di masyarakat modern atau perkotaan seiring dengan lonjakan jumlah penduduk. “Pada masyarakat kota jurig yang takut sama orang. Jadi itu persoalan konteks saja,” katanya.

Sebagai contoh ia menuturkan pembangunan di Bandung, salah satunya di daerah pinggiran kota Buah Batu. Dahulu kawasan ini penuh sawah yang membentang sampai Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung. Sekarang sawah tersebut tak ada lagi akibat proses konversi lahan.

Menurutnya jika dari awal negara hadir untuk membantu sektor pertanian, konversi lahan tidak akan meluas hingga ke pinggiran. “Mestinya negara hadir untuk memfasilitasi petani, misalnya mengajari dia wiraswasta atau memberi subsidi pertanian,” katanya.

Kredit

Bagikan