Benarkah budaya baca tulis di ambang kepunahan?

user
Farah Fuadona 04 April 2016, 15:14 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Budaya membaca buku dan menulis secara manual menghadapi tantangan berat di era digital. Membaca dan menulis mulai ditinggalkan, digantikan dengan penggunaan layar sentuh.
 
Kritikus sastra yang juga dosen Universitas Pasundan Bandung, Hawe Setiawan mengatakan, manusia modern saat ini makin tergantung pada kode-kode digital yang ada di layar sentuh.
 
Menulis teks, gambar, suara semua bisa dilakukan melalui layar, baik via ponsel pintar maupun lewat tablet.
 
“Saya suka bertanya pada diri sendiri, apakah nanti nulis dan membaca masih ada atau tidak? Budaya baca tulis yang sekarang masih ada ke depan bagaimana perubahannya,” kata Hawe di Bandung.
 
Generasi saat ini lebih akrab dengan layar sentuh daripada dengan buku. Menulis menggunakan keyboard qwerty sudah mulai begeser, apalagi menulis dengan pena sudah banyak ditinggalkan.
 
Kondisi tersebut, kata dia, ini akan berpengaruh pada kehidupan manusia. Contohnya di jagat kesusastraan yang selama ini dipahami sebagai menulis dan membaca buku.
 
“Sekarang banyak suratan yang mengajak kita yang mencintai tulisan dan mengarang untuk melihat peran menulis dan membaca yang selama ini menjadi pijakan jagat kesusastraan. Meski saya tetap yakin kegiatan menulis dan membaca itu penting,” katanya.
 
Menurutnya, era digital melahirkan budaya baru, yaitu budaya layar (screen culture). Komunikasi manusia makin tergantung pada kode-kode visual yang ada di layar. Komunikasi manusia baik dengan teks, suara, gambar dilakukan dengan layar.
 
Layar juga dipakai nulis cerita, membaca, dan menonton. Layar bisa menyimpan data, punya memori, menyimpan ingatan. “Jadi disebutnya screen culture. Kelihatannya sekarang kita sudah masuk ke situ (screen culture),” katanya.
 
Tapi, kata dia, budaya tersebut masih berdiri di atas satu kaki, sementara kaki lainnya
masih menginjak di budaya pradigital. Buktinya orang yang membuat fiksi mini di internet kemudian mencetak karya digital mereka dalam bentuk buku. Kemudian kantor pos masih melayani pengiriman surat, sertifikat masih dicetak, dan lainnya.
 
Dengan kondisi tersebut, ia mengingatkan akan ada perubahan besar terkait budaya baca tulis di era modern ini khususnya di dunia kesusastraan. Bentuknya seperti apa? Hanya waktu yang bisa menjawab.

Kredit

Bagikan