Dari mana munculnya ide Bandung Lautan Api?

Oleh Farah Fuadona pada 22 Maret 2016, 10:35 WIB

Bandung.merdeka.com - Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) yang dipimpin Inggris mengeluarkan ultimatum kedua pada 17 Maret 1946. Panglima Tertinggi AFNEI di Jakarta meminta pasukan bersenjata RI meninggalkan Bandung Selatan sampai radius 11 kilometer dari pusat kota.
 
Ultimatum kedua itu tidak lepas dari ultimatum pertama Inggris yang justru memicu perlawanan sengit. Ultimatum kedua akhirnya memicu ide Bandung Lautan Api sebagaimana ditulis dalam buku “Saya Pilih Mengungsi” oleh tim penulis Ratnayu Sitaresmi, Aan Abdurachman, Ristadi Widodo Kinartojo, Ummy Latifah Widodo.
 
Disebutkan, Komandan Divisi III (cikal bakal Kodam III Siliwangi) Kolonel AH Nasution, Komandemen I Jabar Mayjen Didi Kartasasmita dan Mr. Syarifuddin Prawiranegara berangkat ke Jakarta untuk menghadap Perdana Mentri Sutan Sjahrir.
 
Mereka membahas kemungkinan pengungsian Tentara Keamanan Rakyar (embrio TNI) meninggalkan Bandung sesuai ulimatum kedua Inggris. PM Sjahrir memutuskan agar TRI menjalankan ultimatum Inggris. Alasannya, Inggris bukan musuh RI, musuh RI yang sebenarnya adalah Netherlands Indies Civil Administration (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda/NICA) yang datang bersama Inggris.
 
PM Sjahrir tidak setuju jika TKR harus melakukan perlawanan habis-habisan. Di sisi lain, militer di Bandung terlalu kecil dibandingkan dengan kekuatan musuh. Dilihat dari jumlah persenjataan, TRI dan laskar hanya memiliki 100 pucuk senjata api dan 10 ribu personel. TRI lebih banyak menggunakan bambu runcing.
 
Kekuatan tersebut sangat jomplang dibandingkan kekuatan Inggris yang memiliki 12 ribu tentara bersenjata lengkap dan modern, belum lagi dengan pasukan tambahan Gurkha dan pasukan Belanda.
 
Menurut Sjahrir, jika perlawanan dilakukan habis-habisan, baik TRI, laskar, maupun rakyat sipil akan menderita kerugian besar. Terlebih TRI adalah kesatuan tentara yang baru dibangun RI.
 
“TRI adalah modal yang harus dipelihara. Jangan sampai hancur dahulu. Harus kita bangun untuk kelak melawan NICA,” tulis Nasution menuturkan ucapan Sjahrir saat menerima kunjungannya ke Jakarta, sebagaimana dikutip tim penulis Saya Pilih Mengungsi.  
 
Sjahrir melanjutkan, dalam mengikuti ultimatum Inggris pemerintah sipil diminta tetap di posnya masing-masing. Karena jika mereka pergi, NICA akan menggantikannya. “Jangan adakan pembakaran dan sebagainya karena yang rugi rakyat kita sendiri juga dan yang harus membangunnya kelak kita juga.”
 
Selanjutnya para petinggi TRI mengadakan rapat di Markas Divisi III TKR Bandung pada 24 Maret 1946 pukul 10.00 WIB. Rapat dihadiri para pemimpin pasukan Komandan Divisi III Kolonel Nasution, Komandan Resimen 8 Letkol Omon Abdurrahman, Komandan Batalyon I Mayor Abdurrahman, Komandan Batalyon II Mayor Sumarsono, Komandan Batalyon III Mayor Ahmad Wiranatakusumah, Ketua MP3 Letkol Soetoko, Komandan Polisi Tentara Rukana, tokoh masyarakat dan pejuang lainnya.
 
Diceritakan, keadaan rapat sangat emosional, sikap para petinggi TKR terbelah antara menyerahkan Bandung atau mempertahankan Bandung dengan melakukan perlawanan terhadap Inggris dan NICA. Mereka tidak sudi Indonesia dijajah kembali Belanda.
 
Komandan Polisi Tentara Rukana mengusulkan untuk meledakkan terowongan Sungai Citarum di Rajamandala sehingga Bandung menjadi lautan. Karena emosional, Rukana bukan menyebutkan “lautan air” tetapi malah menyebutkan “lautan api.”
 
Soetoko dari Angkatan Muda Pos Telegrap dan Telepon (AMPTT) mengusulkan agar TRI keluar Bandung bersama rakyat. Artinya, rakyat harus ikut mengungsi bersama TRI.

Â

Tag Terkait