Sudah ada di Bandung sejak 1930, benarkah Freemason organisasi legal?
Bandung.merdeka.com - Freemasonry atau sering disebut Freemason identik dengan gerakan rahasia yang misterius. Informasi tentang gerakan ini banyak disajikan dalam film atau novel, salah satunya Da Vinci Code.
Namun film atau novel yang mengulas Freemasonry membuat gerakan ini makin terkesan rahasia. Padahal gerakan ini sudah menyebar ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia khususnya Bandung, Jawa Barat.
Hal itu terungkap dalam Diskusi Sejarah Freemasonry di Indonesia dan Bandung yang digelar Komunitas Aleut, komunitas yang mempelajari sejarah, di Jalan Sumur Bandung Nomor 4 Bandung, Kamis (24/12) sore.
Diskusi yang diikuti puluhan hadirin ini menghadirkan dua narasumber, yakni Sam Ardi yang merupakan pengamat Kemasonan di Indonesia, dan Ryski Wiryawan, penulis buku Okultisme di Bandung.
Menurut Sam Ardi, secara sederhana Freemasonry diartikan sebagai organisasi yang menjunjung nilai-nilai humanisme dengan cara filsafat. Ia mengatakan, dalam istilah Indonesia Freemasonry disebut Kemasonan. Istilah Kemasonan ini menunjukkan bahwa gerakan Freemasonry ada di Indonesia.
"Artinya Freemasonry bukan istilah baru. Istilah Kemasonan dipakai dalam dokumen-dokumen negara. Freemasonry adalah organisasi legal yang masuk ke negeri ini," katanya.
Ia mengatakan, Freemasonry atau Kemasonan masuk ke nusantara bersamaan dengan masuknya VOC. Ini berdasarkan bukti adanya serdadu VOC yang mati di Taman Prasasti Batavia (kini Jakarta). Di Prasasti tersebut tertera lambang Freemasonry, yakni jangkar dan garis.
"Selanjutnya diikuti Freemasonry dari Spanyol dan Inggris. Puncaknya terjadi pada zaman Hindia Belanda. Zaman ini dibentuk organisasi Freemasonry di Hindia Belanda," katanya.
Di zaman kemerdekaan, pada 1955 Freemasonry berubah nama menjadi Timur Agung Indonesia, berubah kembali menjadi Loge Agung Indonesia dengan Guru Agung pertama Raden Soemitro Kolopaking Poerbonegoro.
Ia menambahkan, bagi masyarakat awam Freemasonry dikenal sebagai organisasi rahasia, penuh konspirasi, sebagai agama baru, bahkan sebagai sistem setan. Semua tudingan tersebut, kata dia, hanya propaganda kaum fasis dan agama yang menentang gerakan ini.
Tetapi, sambung dia, setelah mempelajari fakta dan dokumen Freemasonry, termasuk AD/ART organisasi, tidak ditemukan adanya ritual pemujaan setan seperti yang banyak ditudingkan.
"Sebagai orang hukum, saya membahas berdasarkan fakta-fakta, bukan berdasarkan prasangka atau praduga yang tak mengandung kebenaran," kata dosen hukum tersebut seraya menambahkan, ritual Freemasonry lebih mirip meditasi atau permenungan filsafati.
Sementara Ryski Wiryawan, mengatakan Freemasonry merupakan salah satu gerakan okultisme. Menurut dia di masa lalu, gerakan ini tidak asing dengan kehidupan masyarakat sekitar, termasuk di Bandung.
Di Bandung, kata dia, sekitar tahun 1930-an, masyarakat sudah biasa bertemu atau berinteraksi dengan tokoh atau anggota Freemasonry. Namun dalam perkembangannya, sejarah Freemasonry sering bercampur dengan legenda. Contohnya, Freemasonry sering dikait-kaitkan dengan Kesatria Templar dan ilumuninasi. "Itu tidak ada dokumen sejarahnya," ujar Ryzki.
Beberapa bangunan yang terkait dengan Freemasonry di Bandung hingga kini ada yang masih berdiri. Begitu juga loji atau markas yang biasa menjadi pusat kegiatan dan ritual. Salah satu loji yang tersisa terdapat di Jalan Banda, Kota Bandung.