Tedi Cepot, pengamen jalanan yang jadi ikon Bandung

user
Farah Fuadona 08 Desember 2015, 16:57 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Tedi Riandi alias Tedi Cepot pernah merasakan pahitnya hidup di jalan sebagai pengamen. Sebelum nampang sebagai cepot “terbang” di Jalan Asia-Afrika, Bandung, Jawa Barat. Dia tiga tahun mengamen di Dago (Jalan Ir.H. Djuanda) dengan alat celempung.

Saat mengamen dulu, Tedi sering berdandan ala Cepot, tokoh wayang golek yang terkenal jago guyon. Mengenakan setelan serba hitam plus ikat kepala batik, wajahnya dipulas warna merah sebagaimana tokoh cepot.

Rupanya karena dandanan uniknya itu, ia pernah diundang talkshow di sebuah televisi swasta dengan pelawak Sule sebagi host. Tedi dinilai sebagai seniman jalanan yang unik, “Jarang ada yang mau dandan seperti saya,” kata pria 28 tahun itu kepada Merdeka Bandung.

Ia mengaku senang bisa satu layar dengan Sule. Baginya, Sule adalah guru dan saudara. Perjuangan Sule sangat panjang sebelum bisa sukses seperti sekarang. Pria lulusan STM ini bercita-cita ingin menjadi presenter televisi seperti Sule.

Bahkan ia telah menyiapkan konsep acara jika ada televisi yang tertarik merekrutnya, yaitu petualangan si Cepot. Walau begitu Tedi tahu impiannya tak mudah. Dia harus memulai karirnya dari bawah. Pria kelahiran Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung ini sudah merasakan bagaimana dihina sebagai pengamen jalanan, terlebih lagi ketika ia berdandan ala cepot. Ia merasakan panas dinginnya mencari uang dengan cara mengamen.

“Pengalaman itu saya harap memperkuat karakter saya. Mungkin semakin banyak yang menghina semakin banyak pula yang sayang sama saya,” ujarnya.

Selama mengamen, ia berusaha menabung. Dalam sehari, kadang ia bisa mendapat Rp 100 ribu. Uang hasil mengamen kemudian dipakai untuk sekolah public speaking di DJ Arie Broadcasting School. Lewat kursus selama tiga bulan, ia belajar bicara di depan umum, belajar cara menjadi MC dan siaran radio. Kursus tersebut ia biayai dengan cara dicicil per harinya. “Waktu ngamen saya punya target minimal dapat 100 ribu, untuk biaya hidup, bayar utang sama nyicil kursus,” katanya.

Saat itu, ia sudah menikah dan istrinya, Ina Febrianty, sedang hamil dua bulan. Ia cukup pusing memikirkan biaya rumah tangga dan biaya kursus yang tidak sedikit.

Kini, ia bangga tercatat sebagai lulusan sekolah broadcasting terkemuka di Bandung. Anaknya juga sudah lahir, laki-laki, yang diberi nama Sabda Muhammad Astrajingga. Nama Astrajingga diambil dari nama resmi si Cepot. Kini Tedi junior telah berusia 1,5 tahun.

Aktivitas ngamennya juga sudah berhenti. Namun sosok si cepot tetap ia mainkan di Asia Afrika untuk melayani jasa selfie. Di luar itu, Tedi Cepot mengerjakan banyak hal, mulai penyiar freelance di radio komunitas DJ Arie, mengajar siaran radio dan menjadi Master of Ceremony. Jika sepi order, ia kerja di percetakan stiker, masang kaca film, membuka usaha sablon kaos dan plastik hingga menjahit dan membuat pola baju.

Usaha sablon yang baru ia rintis bernama Astrajingga Sablon. Modal peralatan sablon ia dapat dari hasil ngamen. “Saya tidak mau dipandang maunya ngamen saja,” ujarnya.
Ia kemudian menceritakan bagaimana awalnya bisa terpikat pada sosok si cepot. Ia mengaku sejak kecil sering nonton acara wayang golek dengan dalang kondang almarhum Asep Sunandar Sunarya. “Saya selalu nonton wayang dari awal sampai akhir. Kalau tidak dari awal saya nangis,” kenangnya.

Saking senangnya sama si cepot, orang tuanya menyebut wajahnya mirip si cepot. Beberapa temannya juga menyebutnya demikian. “Saya tidak tersinggung, saya justru bangga si cepot kan ikon,” kata bungsu dari enam bersaudara ini.

Ia bertekad untuk terus mempertahankan karakter si Cepot. Menurutnya, wayang Cepot adalah tradisi yang harus diperkenalkan dan dilestarikan. Ikon si cepot diharapkan menambah daya tarik wisatawan untuk datang ke Jawa Barat, khususnya Bandung.

Kredit

Bagikan