Penonton teater tdiajak berdampingan dengan pasien skizofrenia

user
Farah Fuadona 31 Juli 2016, 13:07 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Sejak pukul 19.00 WIB, café Gedung Indonesia Menggugat sudah penuh diisi pengunjung. Hampir 30 menit kemudian, seorang perempuan memakai pakaian perawat memasuki café.

Perawat itu memperkenalkan diri sebagai Suster Sisil. Ia memberitahukan bahwa pementasan teater tari Skizofrenia akan dimulai. “Saya ingatkan sebelum masuk, pengunjung tidak boleh berisik. Pastikan HP di-silent. Pasien saya tidak suka suara berisik,” kata Suster Sisil, Sabtu (30/7) malam.

Pengunjung berbaris memasuki pintu utama Gedung Indonesia Menggugat yang sudah didekor menjadi lorong gelap, kiri kanannya dibatasi kain warna hitam. Di langit-langit menggantung balon-balon putih yang menyala.

Sepanjang lorong, suara musik dengan nada aneh mulai menderu, lalu terdengar bisikan-bisikan perempuan dan desahan-desahan keras. Bisikan itu mengarahkan penonton agar segera masuk.

Di tengah lorong duduk hitam berkerudung merah, matanya melotot, mulutnya berdesah-desah keras.

Di ruang utama pertunjukkan yang juga didominasi kain hitam terdapat ranjang besi, tumpukan koran dan sebuah kursi yang terbungkus kertas koran, di atasnya menggantung peralatan makan, mandi, pisau dapur, botol-botol.

Sedangkan di sudut lain terdapat sebuah layar besar yang menempel di dinding. Musik terus mendengung memekakan telinga, menyentak-nyentak, kadang ada suara-suara seperti klakson mobil.

Seorang pria mengenakan jas dan celana jeans tiba ke tengah ruangan, memainkan dua balon yang menyala. Pria yang diperankan penari Asep Hendrajat itu kemudian berdiri di depan layar, memainkan dua biji lampu warna merah, menelannya, memuntahkan.

Layar menampilkan beragam gambar, pemandangan alam, jalan kota yang tergoncang gempa, kepala barong, kepala boneka yang botak, tengkorak, dan gambar hantu.

Adegan skizofrenia
© 2016 merdeka.com/Iman Herdiana

Asep bergetar dan menjerit lalu menghambur ke arah penonton yang duduk lesehan. Di antara kerumunan penonton ia menemukan tali dan boneka beruang.

Empat orang penari mulai mengganggu Asep, mendorong dan mengerumuninya. Mereka kemudian terlibat dalam gerak-gerak tarian. Kadang gerak para penari mengikuti boneka beruang yang digerakan Asep.

Pertunjukan teater tari Skizofrenia garapan koreaografer Santi Pratiwi berlangsung hampir satu jam. Selain Asep, penari lain yang terlibat adalah Galih Mahara, Galuh Tulus, Petry Eka Prasetya, Puri Senja, Rizka Nuraini Arief.

Para penari berasal dari Kelompok Anak Rakyat (LOKRA) Bandung, Shocking Rajah Performing Art, dan Teater Lakon.

Selama pertunjukkan, penonton dan penari sengaja tidak ada batasan. Para penari bisa menari di beberapa sudut tempat duduknya penonton. Bahkan di akhir pentas, penonton dikejutkan dengan adegan orang skizofrenia yang dipasung dengan kayu dan diikat di atas ranjang besi. Penonton kemudian dilibatkan untuk melempari mereka yang dipasung dengan kertas.

Santi Pratiwi menjelaskan, pihaknya sengaja menyajikan konsep pertunjukkan yang tak berjarak. Tujuannya tidak lain agar penonton bisa merasakan dekatnya dengan fenomena skizofrenia.

“Skizofrenia biasa kita temukan di jalan. Tetapi skizofrenia sendiri memiliki banyak level, ada yang tidak terlihat dan hidup berdampingan dengan kita,” kata Santi usai pertunjukkan.  

Ia berharap pertunjukkannya bisa menimbulkan kepekaan terhadap orang yang menderita skizofrenia. “Agar kita bisa memahami dan memberi perhatian pada mereka,” kata perempuan kelahiran Surabaya 1987.

Santi mengerjakan teater tari Skizofrenia selama dua tahun. Skizofrenia sendiri merupakan gangguan mental yang ditandai dengan gangguan proses berpikir dan tanggapan emosi yang lemah. Keadaan ini dimanifestasikan dalam halusinasi, paranoid, keyakinan atau pikiran yang salah, tidak sesuai dengan dunia nyata.

Kredit

Bagikan