Sesar Lembang, patahan gempa yang mengancam Bandung

user
Farah Fuadona 24 Mei 2016, 11:30 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Sudah lama para pakar kebumian memperingatkan Bandung sebagai kota yang rawan gempa bumi. Peringatan ini berdasar dari adanya adanya patahan atau sesar Lembang di utara Kota Bandung, sebuah patahan yang muncul akibat aktivitas tektonik.

Jika jalan-jalan ke Lembang, bentuk Sesar Lembang bisa disaksikan jelas di daerah tinggi Cibural atau Gunung Batu. Sesar Lembang berbentuk perbukitan yang indah dan ditumbuhi cadas dan rimbun pepohonan.

Sesar Lembang menjadi salah satu topik dalam Pekan Ilmiah Tahunan ke-3 Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) yang digelar selama dua hari di Kampus ITB, 23-24 Mei 2016. Pada acara ini Sesar Lembang menjadi lokasi field trip. Peserta Field trip Sesar Lembang dibekali buku saku Field trip Sesar Lembang: Patahan yang Mengancam Bandung.

Buku tersebut memuat tulisan ilmiah Dr. Ir. Budi Brahmantyo dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, ITB. Dalam buku tersebut Budi memaparkan definisi patahan atau sesar yang merupakan retakan di kerak bumi yang telah menggeser blok yang dipisahkannya.

Budi menjelaskan, Sesar Lembang digolongkan sebagai sesar normal. Bagian blok Lembang di sebelah utara ambles menurun, sementara blok bagian selatan terangkat naik. Terbentuklah bidang geser patahan yang miring terjal ke arah utara. Bidang ini memanjang hingga lebih dari 22 kilometer.

“Adanya Sesar Lembang menimbulkan kekhawatiran bagi para pengamat kebumian. Apa jadinya jika sesar ini aktif kembali? Mungkinkah sesar ini dapat mengaktifkan kembali. Membayangkan gempa bumi besar jika gerak-gerak tektonik menggeser sesar ini tak dapat terkirakan bencana besar seperti apa yang akan melanda wilayah sepanjang jalur sesar ini. Siapkah pemerintah dan masyarakat di sana mengantisipasi kedatangan gempa bumi?”. Demikian sejumlah pertanyaan yang membuka tulisan Budi Brahmantyo sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang Sesar Lembang.

Dalam ilmu geologi, lanjut dia, lereng memanjang pada Sesar Lembang disebut juga gawir sesar. Bentuknya terlihat jelas jika dipantau dari ketinggian, foto udara atau pun citra satelit. Sesar Lembang memanjang dari timur ke barat, tingginya gawir sesar sekitar 450 meter dari ujung timur Gunung Palasari, Maribaya, Gunung Manglayang hingga 40 meter di sebelah barat Cisarua, dan menghilang di ujung barat di sekitar Padalarang.

Secara geografis, sesar ini terbagi tepat pada jalan Bandung-Lembang. Di daerah ini terdapat suatu daerah datar sepanjang jalan Bandung-Lembang hingga Kecamatan Lembang. Di bagian dataran sempit dibatasi Sungai Cihideung, yang mengalir utara-selatan memotong gawir sesar. Di sebelah timur gawir sesar dicirikan tebing terjal dengan ketinggian antara 75 meter di Lembang (barat) sampai lebih dari 450 meter di Gunung Palasari (ujung timur). “Ketinggian ini semakin tinggi akibat adanya penyayatan vertikal endapan-endapan gunung api pada kakinya,” kata Budi.

Sesar Lembang Bagian Timur yang berujung di Gunung Manglayang
© 2016 merdeka.com/Buku field trip Sesar Lembang


Berdasarkan citra satelit, tampak jelas kelurusan Sesar Lembang dengan arah hampir barat-timur di perbukitan Dago sekitar Lembang kota hingga lereng selatan jajaran Gunung Burangrang, Gunung Tangkubanparahu, Gunung Bukittunggul. Hasil interpretasi tersebut menunjukkan adanya kelurusan Sesar Lembang yang menerus ke Sungai Cimeta di Baratlaut Padalarang. Di Padalarang Sesar Lembang bertemu dengan Sesar Cimandiri yang tracenya diduga menerus ke arah timur laut dan masih terjejaki di Gunung Tangkubanparahu hingga Tambakan, Subang.

Budi lalu membahas sejumlah literatur penelitian Sesar Lembang. Disebutkan bahwa Sesar Lembang terbentuk dari aktivitas volcano-tektonik Kompleks Gunung Sunda ratusan tahun lalu. Disebutkan pula bahwa aktivitas terakhir Sesar Lembang terjadi 24.000 tahun lalu.

Ia juga mengulas beberapa analisa para ahli, di antaranya pakar dari Geoteknologi LIPI Dr. Danny Hilman Natawidjadja yang menyatakan kemungkinan jika gempa Sesar Cimandiri merambat ke Sesar Lembang akan menimbulkan gempa dengan kekuatan 6,9 hingga 7,5 skala richter (SR).

Ahli lainnya, Engkon Kertapati menyusun peta yang menunjukkan tingkat kerawanan gempa bumi di Kota Bandung akibat adanya Sesar Lembang. Peta tersebut menunjukkan hubungan empiris antara panjang sesar dengan magnitude gempa. Panjang sesar antara 25 sampai 40 kilometer atau lebih memungkinkan menghasilkan gempa dengan kekuatan 6,7 atau 6,9 SR.
 
Budi Brahmantyo menyatakan, sebelumnya tahun 2000 jarang dirasakan gelombang gempa di Bandung. Namun sejak 2000 ia mencatat beberapa kali kejadian gempa bumi yang dirasakan di Cekungan Bandung. Meski umumnya gelombang gempa tersebut bersumber dari daerah di luar Bandung, beberapa di antaranya bahkan jauh sekali. Misalnya rambatan gelombang gempa yang bersumber di Pulau Enggano, Samudra Hindia pada 4 Juni 2000.

Setelah itu, beberapa kali di Bandung dirasakan gelombang gempa “kiriman” dari luar. “Banyak para ahli menduga telah terjadi perubahan struktur kerak bumi di bawah Bandung sehingga guncangan kerak bumi semakin kerap terjadi,” katanya.

Menurutnya, perambatan gelombang gempa bumi di dalam kerak bumi akan sangat tergantung pada berat jenis dan struktur benda yang dilaluinya. Gempa bumi akan berdampak besar pada daerah-daerah lemah di kerak bumi. “Dari beberapa gempa bumi besar di dunia atau Indonesia, tercatat bagwa intensitas kerusakan akibat gempa bumi terjadi pada daerah-daerah yang mempunyai jenis batuan muda, misalnya berupa endapan aluvial yang tidak terpadatkan, atau pada daerah-daaerah yang dilalui bedang-bidang lemah berupa tertakan-retakan yang memanjang akibat gaya-gaya tektonik,” kata dia.

Daratan Bandung sendiri adalah endapan aluvial dan endapan danau, umumnya terdiri dari kerikil, pasir, lempung dan sisa gunung api. Selain itu, Budi mengungkapkan pencitraan hasil satelit SPOT milik Prancis tentang Bandung. Dari situ tampak Bandung sebagai daratan yang tercabik-cabik dan retak-retak akibat tektonik.

“Selain Sesar Lembang yang memperlihatkan morfologi tebing yang memanjang kurang lebih 22 kilometer dari Gunung Palasari di timur hingga Cisarua di Barat, ternyata dari citra SPOT kelihatan pula suatu sistem kelurusan yang rapat dan saling menyilang serta tersebar di sekitar Bandung, beberapa di antaranya menerus sangat tinggi,” ujar Budi.

Kredit

Bagikan