Membedah peta seni rupa Bandung

user
Farah Fuadona 24 Agustus 2016, 10:36 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Bandung menjadi salah satu pusat seni rupa di Indonesia setelah Yogyakarta dan Jakarta. Tiga kota inilah yang sejak zaman kolonial menjadi “kiblat” seni rupa.

“Apa yang dimaksud peta seni rupa Jawa Barat? Jangan-jangan isinya orang Bandung karena kenyataannya seni rupa ini berkembang di Bandung,” kata kurator Galeri Soemardja Aminudin TH Siregar, Selasa (23/8).

Kurator yang akrab disapa Ucok itu berbicara dalam diskusi Pameran Seni Rupa Jawa Barat bertema Zona#1: Versi/Resepsi di Taman Budaya, Bandung. Sebagai salah satu kiblat seni rupa di Indonesia, kata dia, maka seniman di luar Bandung terutama di wilayah Jawa Barat mau tidak mau harus membangun jaringan dengan seniman atau galeri yang ada di Bandung.

Dengan begitu, seni rupa di daerah lain di Jawa Barat, misalnya Tasikmalaya, Cianjur, Subang dan lainnya bisa maju. “Jadi beruntung jika senimannya ada di Bandung, karena di sini ada banyak galeri, ada sekolah seni rupa, akses, pasar, dan lain-lain,” katanya.

Menurutnya, memahami peta seni rupa penting, baik oleh seniman maupun oleh pemerintah. Bagi seniman, peta seni salah satunya bisa dipakai untuk strategi mengenalkan karyanya.  

Sedangkan bagi pemerintah, peta tersebut bisa dipakai untuk memfasilitasi seniman menggelar pameran seni, mempertemukan seniman dengan pasar.

Peta seni rupa di Bandung sendiri terpusat dalam satu titik, yakni di kawasan utara. Hal ini tidak lepas dari masa kolonial ketika Bandung dibagi dua, utara dan selatan dengan batas rel kereta api.

Di masa kolonial, kawasan utara menjadi tempat pemukiman orang-orang Eropa. Sekolah teknik pertama di Indonesia berdiri di utara, yakni ITB. Begitu juga pusat-pusat kesenian. Sedangkan wilayah selatan Bandung dijadikan tempat republiken atau pribumi, tempat para pemberontak, kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.

Kenyataan saat ini, kata Ucok, seni rupa berkembang di utara Bandung, mulai dari kawasan Dago ada Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, juga Galeri Soemardja ITB, Taman Budaya, Selasar Sunaryo Art Space. Masih di utara ada NuArt Sculpture Park, dan lain-lain.

“Namun untuk sekarang tentu tidak perlu membangun paradigma utara-selatan seperti zaman kolonial, meski kenyataannya begitu (seni rupa utara Bandung lebih maju),” kata Ucok.

Sama halnya dengan Yogyakarta yang menjadi kiblat seni rupa Indonesia, juga memiliki banyak irisan. Tidak semua daerah di Yogyakarta memiliki tradisi seni rupa.

“Di Yogyakarta kebalikannya dengan Bandung, seni rupa berkembangnya di selatan, bukan di utara. Daerah Kaliurang ke atas nyaris tidak ada galeri. Bahkan di Sleman tak ada galeri, tapi di selatan, di Magelang ada galeri. Di selatan banyak sekali galeri, banyak turis yang datang ke sana,” katanya.

Menurutnya, dengan memahami medan seni rupa diharapkan menjadi masukan berarti bagi seniman maupun pihak terkait. “Mudah-mudahan kita menjadi seniman yang mawas diri, menghargai pekerjaan orang lain, menghargai tukang kanvas. Jangan jadi seniman sombong, semua harus dihormati. Kalau ini hidup, seni rupa kita akan maju,” katanya.

Pameran “Zona#1: Versi-Resepsi” berlangsung dari 22 sampai 30 Agustus 2016 di di Galeri Rumah Teh (Thee Huis Gallery) – Taman Budaya Jawa Barat, Jalan Bukit Dago Selatan Nomor 53 A, Bandung. Tercatat 87 seniman Jawa Barat yang memamerkan karya mereka.




Kredit

Bagikan