Teater Djarum pentaskan lakon 'Petuah Tampah' di Bandung

user
Farah Fuadona 01 Agustus 2016, 15:41 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Tampah atau dalam bahasa Sunda biasa disebur 'Nyiru' merupakan alat tradisional yang dipergunakan utamanya untuk memilah dan memilih padi bernas. Selain itu juga dipergunakan untuk fungsi-fungsi lain, misalnya tempat gunungan untuk syukuran, tempat bumbu-bumbu dapur.

Dalam tradisi Jawa, tampah juga memiliki filosofi, yakni nampa atau menerima. Pada beberapa peristiwa anak hilang di senjakala, menurut mitosnya karena diajak bermain makhluk halus. Tampah kemudian dijadikan alat tetabuhan oleh para tetangga sambil keliling kampung. Dan ditemukanlah si anak hilang tadi, tengah kebingungan terduduk di batang sebuah pohon besar. Terlepas percaya atau tidak, nyatanya tampah telah menjadi alat magis yang berguna bagi masyarakat.

Petuah Tampah berangkat dari penggambaran tentang perkembangan kepribadian seseorang di tengah-tengah masyarakat sosial saat ini. Menggabungkan nilai-nilai tradisi sebagai pijakan dan harapan ideal akan modernitas kekinian.

Nilai-nilai itulah yang diangkat oleh Teatar Djarum saat mementaskan lakon ‘Petuah Tampah’ yang digelar di Saung Angklung Udjo, Jalan Padasuka beberapa waktu lalu. Pertunjukan ini digagas oleh Teresa Rudiyanto dan disutradari oleh Asa Jatmiko ini. Mengangkat tokoh Tyas sebagai tokoh utama yang diperankan oleh Jasmi. Pertunjukan yang didukung oleh 12 pemain ini menggabungkan unsur gerak dan dialog serta perlambangan atas simbolisasi yang ditawarkan.

Asa Jatmiko menyebutkan bahwa Tampah memiliki nosi “ke dalam” dan “ke luar” bagi masyarakat kita. Pada pemaknaan ke dalam, Teater Djarum menawarkan kembali perenungan akan tumbuh kembangnya kepribadian anak manusia di dalam kehidupan yang bagaikan siklus atau cakra manggilingan (roda yang berputar). Berdenyut, berkesinambungan dan terus hidup.

Lakon 'Petuah Tampah'
© 2016 merdeka.com/Dian Rosadi

Sementara Tampah dalam pemaknaan “ke luar” bagi masyarakat merupakan media bersosialisasi, bertegur-sapa, serta terjalinnya upaya saling membutuhkan dan saling menopang. Tampah menjadi alat yang mempertemukan secara langsung pribadi dengan banyak pribadi.

"Teater Djarum mengangkat tampah sebagai ekspresi seni pertunjukan, karena syaratnya nilai-nilai penting tersebut. Kemajuan teknologi modern, terutama teknologi komunikasi diakui maupun tidak merupakan arus besar yang menjadikan banyak nilai di dalam masyarakat kita terputus dan terkoyak. Apalagi jika kita tidak mampu secara arif dan bijaksana menyikapinya. Oleh karenanya, tampah yang menawarkan banyak nilai diangkat dalam 'Petuah Tampah'," katanya

Asa mengungkapkan, eksplorasi tampah telah berlangsung selama 5 bulan penuh. Dalam perjalanannya Teater Djarum selalu menemukan hal-hal baru seperti ketika tiba-tiba menemukan kata wos (bahasa Jawa yang berarti padi), yang juga berarti “inti” kehidupan. Kemudian ketika Teater Djarum menemukan tampah yang disusun dari anyam-anyaman bambu. Tiba-tiba tersadar akan bahwa bangunan dari seluruh proses para pemain dan pendukung teater tidak lain merupakan 'anyam-anyaman' dari pribadi-pribadi yang mewujud tampah sebagai pentas besarnya.

Pertunjukan 'Petuah Tampah' ini merupakan pertunjukan ke-empat dimana sebelumnya telah dipentaskan di Gedung Kesenian Jepara (Jepara), Auditorium Galeri Indonesia Kaya (Jakarta) dan Balai Budaya Rejosari (Kudus). Setelah digelar di Bandung, Petuah Tampah masih akan hadir di beberapa tempat, antara lain di Omah Petroek Sindhunata – Yogyakarta, Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah – Surakarta, Taman Budaya Cak Durasim – Solo dan Temanggung.

Kredit

Bagikan