Teater tari Skizofrenia lahir dari riset dan pengalaman keluarga
Bandung.merdeka.com - Santi Pratiwi harus melakukan riset selama dua tahun sebelum melahirkan teater tari Skizofrenia yang dipentaskan di Gedung Indonesia Menggugat Sabtu (30/7) malam. Perempuan kelahiran Surabaya 1 Oktober 1987 ini memiliki pengalaman pribadi terkait penyakit skizofrenia. Penyakit ini diderita pamannya akibat suatu kecelakaan. Kecelakaan tersebut membuat beberapa saraf di otaknya terputus.
Penderitaan sang paman membut Santi empatik pada orang-orang skizofrenia yang mudah ditemui di jalanan. Namun penyakit skizofrenia pamannya tidak parah, kadang ia masih bisa diajak bicara.
Paman Santi sempat dirawat di panti rehab keagamaan. Namun di tempat tersebut pamannya justru mendapat perlakukan tidak mansiawi. Pamannya disatukan dengan pasien jiwa lain yang kondisinya parah.
Selama dirawat, pamannya tidak bisa makan dengan pasien-pasien lain. Seringkali makanannya direbut. Akhirnya pamannya meninggal dalam komplikasi penyakit paru dan lever akibat pola makan yang buruk.
Pengalaman pamannya itu menimbulkan kesan mendalam bagi Santi, termasuk dalam perjalanannya sebagai koreografer. Hingga suatu waktu, alumnus Unesa 2009 dan PPs ISI Yogyakarta 2015 ini menggarap sebuah karya.
Awalnya ia kesulitan mencari ide untuk karyanya itu. Ia ingin karyanya berbeda dan belum banyak dijamah seniman lain. Ia kemudian berjalan-jalan ke toko buku. Dari situ ia menemukan buku-buku psikiatri, antara lain tentang halusinasi dan skizofrenia.
“Jadi ide membuat teater tari Skizofrenia muncul begitu saja, setelah membaca buku saya berpikir kayanya asyik kalau membuat karya tentang skizofrenia, terlebih secara pribadi ada anggota keluarga saya yang mengalaminya,” tutur Santi.
Ia kemudian melakukan riset kepustakaan maupun terjun langsung ke Rumah Sakit Jiwa Menur, Surabaya. Tujuannya untuk memahami karakter-karakter pasien skizofrenia. Proses ini terjadi selama setahun.
Setahun berikutnya ia bekerja di studio, untuk merumuskn konsep, gerak, musik, bersama para penarinya. Ia juga meminta para penari agar membaca buku-bukunya, meriset sendiri tentang skizofrenia.
“Saat kami kumpul, kami sharing, lalu latihan setelah itu dievaluasi,” katanya.
Ahirnya teater tari Skizofrenia sudah dipentaskan di tiga kota, yakni Surabaya, Yogyakarta dan Bandung. Rencananya setelah pementasan di Bandung, teater tari tersebut akan dipentaskan kembali di Kupang.
Menurutnya, pasien skizofrenia tidak bisa mengontrol pikirannya. Penyakit mental ini juga memiliki banyak jenis, ada yang kasat mata dan ada juga yang tidak.
“Bisa saja orang yang sehari-hari bergaul dengan kita ternyata skizofrenia. Melalui tarian ini kita berharap bisa empatik pada mereka,” ujarnya.