Marsinah 'bangkit' di tengah ancaman kebebasan berekspresi

user
Farah Fuadona 17 Mei 2016, 12:02 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Jam terus berdetak di pelataran parkir yang gelap. Cahaya lampu kemudian menyorot ke arah panggung pementasan monolog “Membangunkan Marsinah”. Di atas panggung dengan latar gelap itu muncul gerakan melata mengenakan kain merah.
 
Di balik kain merah itu sosok wajah perempuan menyembul dengan mata melotot ke arah ratusan penonton, kebanyakan mahasiswa. Ia perlahan berdiri dengan gerak kaku sambil memegangi kain merah. Tiba-tiba beberapa orang dari arah penonton bernyanyi, “Marsinah siapa yang punya… Marsinah kita semua.”


Jam kembali berdetak. Marsinah, perempuan di atas panggung itu, diperankan aktris teater Shela Karina. Ia mengenakan pakaian hitam putih dengan rambut mengembang ikal sebahu, model rambut perempuan era 90-an.
 
“Aku terbangun oleh banyak suara teriakan yang nyaring. Demokrasi, demokrasi, demokrasi,” teriak Shela dalam monolog yang digelar Studi Teater Unisba (STUBA) di halaman parkir Unisba, Jalan Tamansari, Bandung, Minggu malam (15/5).

Sosok Marsinah yang diperankan seniman teater Shela Karina
© 2016 merdeka.com/Iman Herdiana


“Kukira selama aku tidur tak pernah mendengar teriakan itu. Begitu bangun langsung ku cari suara siapa itu, mengapa gaungnya begitu menyayat hati?”.
 
Ia duduk di atas kursi kayu di tengah panggung, mengenakan kacamata dan membuka-buka halaman surat kabar. Di belakangnya sebuah lukisan menggantung, menampilkan wajah dirinya. Beberapa bambu runcing mengisi tiap sisi panggung 6x4 meter.
 
Musik latar bergema mengiringi suara radio yang menyiarkan berita pemerkosaan, korupsi, gratifikasi seksual untuk pejabat, pembunuhan Salim Kancil yang menolak tambang di Lumajang, Jawa Timur dan berita Presiden Jokowi.
 
Selesai membaca Koran, Marsinah bangkit dari duduknya. “Demokrasi yang aku perjuangkan dari dulu kukira sudah didapat, eh malah panas aku dibuatnya ketika tahu Salim Kancil tewas karena menolak tambang liar,” katanya dengan logat Jawa Timurnya yang medok
 
Di masanya, kata Marsinah, dirinya bersama ratusun buruh desa setengah mati melawan rezim militer. Hari itu saat ia “terbangun” Salim Kancil justru melawan kebengisan yang ada di desa.
 
Di bawah arahan sutradara Sugeng Riyadi, aktris muda Shela Karina menampilkan Marsinah yang penuh amarah dan ironi. Kematian Salim Kancil menjadi satu dari sekian banyak isu yang disoroti pentas monolog itu.

Marsinah terkaget-kaget saat membaca berita upah minimal buruh yang berkali-kali lipat naiknya dibanding dengan upah minimal di zamannya. Ia ragu dengan media yang menyebut-nyebut buruh masa kini sudah sejahtera dan hidup mewah sementara di media lain memberitakan hidup buruh masih menderita.
 
Ia juga terbengong-bengong mendapati kemajuan teknologi informasi, perkembangan dahsyat internet. Tapi di sisi lain demokrasi tak lebih baik dibandingkan dengan zamannya. “Omonganku ini ada yang nyatet, zamanku tembok dan kursi jadi intel Kodim. Kalau sekarang masih tidak rek?” tanya dia yang dijawab penonton “Masih.”
 
Shela cukup interaktif dengan penonton. Ia pun meminta para pejuang muda agar hati-hati. Jangan sampai nasib generasi muda masa kini berakhir seperti dirinya. “Bangsa ini belum berubah, masih sebelas dua belas. Zaman teknologi ini rapat buruh saja bisa diketahui intel tanpa perlu turun langsun ke lapangan. Jadi enakan mana zamanku apa zamanmu, rek?”

Ia meratapi kematiannya yang disebut-sebut sebagai tumbal demokrasi. Pasca kematiannya masih saja terjadi pembunuhan-pembunuhan terhadap rakyat yang berusaha menegakan demokrasi di antaranya wartawan Udin, penyair Wiji Thukul, aktivis HAM Munir.  
 
“Kuingatkan pada kawan-kawan sekalian, pastikan Indonesia merdeka. Pastikan demokrasi bukan selogan seperti janji-jani wakil rayat yang ngakunya wakil rakyat tapi kok…,” lonceng jam kembali berbunyi.
 
Monolog Marsinah itu seperti membunyikan lonceng bahaya bagi demokrasi. Akhir-akhir salah satu pilar demokrasi, yakni kebebasan berekspresi, mulai diusik. Di Bandung beberapa kali acara kesenian mendapat intimidasi dari ormas tertentu. Kasus terbaru adalah masuknya ormas ke ranah akademik kampus ISBI Bandung. Mereka menuding kampus ISBI mengajarkan komunis. Sementara di berbagai kota di Indonesia terjadi perampasan buku-buku yang dicap komunis, hal serupa terjadi di masa Marsinah.
 
Pentas monolog tersebut berlangsung selama 45 menit. Naskah Membangunkan Marsinah ditulis anggota aktif Stuba, Novan Riandhy, sedangkan peñata panggung dipegang Besti Rahulasmoro.
 
Produser “Membangunkan Marsinah” Reggi Kayong Munggaran menuturkan ide pementasan monolog terkait dengan peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 1 Mei lalu. Sedangkan 8 Mei 1993 terjadi pembunuhan terhadap Marsinah. Maka bicara gerakan buruh di Indonesia tidak lepas dari peran berani Marsinah.
 
Seiring perjalanan waktu, sosok Marsinah tertimbun peristiwa sejarah. Banyak generasi muda yang lahir setelah 1993 mengalami amnesia sejarah, tidak kenal marsinah. Ide memeringati Marsinah kemudian disambut baik dari senior-senior Stuba, antara lain Besti, Sugeng, dan generasi muda yang diwakili Shela Karina.

Marsinah yang diperankan seniman teater Shela Karina menyapa penonton
© 2016 merdeka.com/Iman Herdiana

 
“Shela mewakili generasi muda yang temasuk amnesia sejarah. Selama latihan memerankan Marsinah, berkali-kali Shela menangis,” tutur Reggi.

Namun meski berusaha menghubungkan Marsinah dengan generasi muda masa kini, monolog Membangunkan Marsinah minim unsur sejarah. Tidak ada penjelasakan kapan, bagaimana dan mengapa ia dibunuh di masa perjuangan buruh era Orde Baru itu.
 
Sutradara Sugeng Riyadi mengakui bahwa Marsinah yang ditampilkan adalah Marsinah yang hidup di masa yang serba digital, sehingga minim info biografis. “Di zaman teknologi sekarang, interaksi begitu bebas tapi tak wajar. Banyak orang ngumpul di ruangan dengan gadget-nya masing-masing. Konteks itulah yang kita angkat, bagaimana geregetnya Marsinah pada situasi saat ini,” ungkap Sugeng.
 
Untuk mengisi celah kosong biografi Marsinah, di penghujung monolog dihadirkan rekan seperjuangan idiologis Marsinah, Ani Herningsih. Ani memberikan kiprah Marsinah di masa yang penuh represif militer. Penonton mendapat penjelasan bahwa Marsinah adalah buruh perusahaan jam di Jawa Timur yang berani melawan kekuatan rezim masa itu. Penjelasan ini menjawab detak-detak jam yang menjadi latar monolog.
 
Monolog Membangunkan Marsinah menjadi penutup rangkaian acara yang sudah digelar sejak 9 Mei lalu oleh STUBA dan Keluarga Mahasiswa Jurnalistik (KMJ) Fikom Unisba itu. Rangkaian Membangunkan Marsinah menghadirkan pameran lukis, foto perjuangan buruh, pameran buku-buku tentang gerakan, seni instalasi, diskusi, performance art dan lainnya.
 
Pameran tersebut berlangsung cukup lancar di tengah isu pemberangusan buku-buku gerakan kiri serta ancaman terhadap kebebasan berekspresi. “Kita berharap kebebasan berekspresi dijamin negara sebaik-baiknya sehingga tak ada rasa takut untuk menggelar mimbar-mimbar akademik,” ujar Reggi.

Kredit

Bagikan