Ritus mati dan hidup dalam Tari Panji Cirebon

Oleh Farah Fuadona pada 22 Januari 2016, 11:00 WIB

Bandung.merdeka.com - Musik gamelan Jawa mengalun ketika seorang penari laki-laki memasuki arena tarian. Ia membawa topeng yang dibungkus kain merah. Setelah bergerak mengikuti gamelan, ia memakai topeng Tari Panji warna putih dengan mata sipit, bibirnya merahnya sedikit menyunggingkan senyum.
 
Penari itu mengenakan pakaian tradisional khas keraton Jawa, mengenakan penutup kepala, kain batik, di pinggangnya terselip keris. Ia menunjukkan Tari Topeng Panji yang biasa dimainkan di Cirebon dan sekitarnya.
 
Tari Topeng Panji sebuah tarian yang berbeda dengan tari umumnya. Gerak pada tari topeng ini minim dan halus, kadang hanya berupa remasan jari-jari tangan sang penari saja.
Â

Â


Ciri khas lain tari yang memuat Cerita Panji itu adalah sepanjang menari, kaki sang penari terbuka lebar dan sedikit menekuk seperti memasang kuda-kuda. Penari mengibaskan selendang, menggerakan tangan dengan gerakan lambat, kadang penari mengacungkan jempolnya atau menunjukkan kedua telapak tangannya kepada penonton.
 
Pakar tari topeng Cirebon dari Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Toto Amsar Suanda mengatakan, durasi Tari Topeng Panji bisa mencapai dua jam, durasi yang lama untuk sebuah tarian yang dibawakan seorang penari. Terlebih gerak Tari Topeng Panji terkesan monoton.
 
Di daerah Cirebon, kata dia, Tari Topeng Panji biasa diundang acara hajatan. Selama dua jam pertunjukkan tersebut tidak boleh diganggu. “Tari Panji paling tertib, karena itu ritus bagi penonton, nayaga, dan dalang tarinya. Jadi agak mistis,” katanya kepada Merdeka Bandung di sela pertunjukkan dan diskusi Cerita Panji di di Galeri Abun, Bandung, baru-baru ini.
 
Menurutnya, karena gerakannya yang lambat Tari Topeng Panji tak disukai para penarinya sendiri. Selama menarikannya, penari harus membuka kakinya yang menekuk yang menyimbolkan adanya tekanan dari “dunia” atas sementara dari bawah disedot gravitasi bumi.
 
Selama gerak-gerak lambat tarian, penari diibaratkan hidup dalam mati dan mati dalam hidup. Jika penari memiliki kesempatan mengangkat kakinya, ia akan merasakan hidup. “Merasakan hidup dalam mati dan mati dalam hidup itu mistis,” katanya.
 
Dalam hajatan, Tari Topeng Panji ditampilkan pertama kali di pagi hari. Biasanya yang nonton anak-anak, sebab orang dewasanya belum pada datang. Tapi bagi penari dan nayaga masa bodoh meski tak ditonton. Sebab Tari Topeng Panji adalah ritus bagi penari. Saat itulah jampe-jampe dibacakan, kemenyan dibakar. Penari juga biasanya melakukan puasa beberapa hari sebelum memulai tarian.
Â


Cerita Panji sendiri merupakan cerita rakyat yang berasal dari masa Kerajaan Kediri, Jawa Timur, sekitar abad ke-11 Masehi. Cerita Panji menyebar luas di masa kerajaan Majapahit.
 
Di Jawa Barat, Cerita Panji masuk dalam tari-tari topeng di daerah Cirebon yang kemudian menyebar ke daerah sekitarnya seperti Losari, Palimanan, Majalengka, Jatiwangi. Jejak Cerita Panji juga terdapat di tari topeng Indramayu, Subang, Kemudian disinggung juga dalam wayang cepak Indramayu.
 
Saat ini, kata Toto, seniman Tari Topeng Panji makin berkurang karena kurangnya apresiasi masyarakat. Kesenian tari topeng kalah bersaing dengan dangdut koplo. “Mereka bersaing dengan dangdutan. Jadi kalau pada Tari Topeng Panji bau kemenyan saat elektunan jadi bau alkohol,” katanya.