Nugroho, bercita-cita jadi peneliti gempa dan tsunami sejak SD

user
Muhammad Hasits 15 Desember 2015, 11:45 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Saat masih SD, Nugroho Dwi Hananto memiliki cita-cita yang sangat spesifik, yaitu sebagai pakar geologi kelautan. Dengan ilmu itu ia ingin meneliti gempa dan tsunami.

Cita-cita itu kesampaian. Ia bisa menamatkan S1 dan S2-nya terkait geosains kelautan di Institut Teknologi Bandung. Begitu juga S3-nya yang ia dapat di Institut de Physique du Globe de Paris, Prancis.

Kini, Nugroho Dwi Hananto, 43 tahun, menjadi satu dari sedikit pakar geologi kelautan yang dimiliki Indonesia. Saat ini ayah dua anak tersebut menjabat Kepala Subbidang Diseminasi & Kerja Sama pada Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Jika ditilik dari cita-citanya di masa kecil, terkesan agak nyeleneh dibandingkan cita-cita anak umumnya, misalnya menjadi dokter, pilot, guru. Nugroho mengakui sejak kecil ia sudah terbiasa membaca buku-buku dan menonton film-film petualangan, termasuk tentang petualangan dalam dunia laut.

Salah satu petualangan yang sangat mendorong pria kelahiran Salatiga ini untuk mencintai geologi kelautan adalah buku dan film petualangan Jean Jacques Cousteau, peneliti kelautan Prancis.

“Pengalaman penelitian Jean Jacques Cousteau dalam menguak rahasia alam di samudera-samudera di dunia menginspirasi saya untuk menjadi seorang peneliti geosains kelautan,” katanya, kepada Merdeka Bandung, Minggu (29/11).

Baginya, menjadi peneliti geosains kelautan sangat membanggakan. Ilmu geologi kelautan berupaya memahami kejadian gempa dan tsunami, dua bencana yang selalu mengintai kepulauan nusantara.

Kepulauan Indonesia sendiri berada di antara pergerakan kerak benua dan kerak samudera, yaitu kondisi alam yang di antaranya berpotensi besar menghasilkan bencana gempa dan tsunami.

Ia berharap, ilmu yang ia dalami itu bisa menyumbangkan pemikiran khususnya dalam mitigasi atau pengurangan risiko bencana. Terlebih, Indonesia merupakan negara yang dikelilingi lautan berpotensi gempa dan tsunami.

Jumlah pakar geosains kelautan sendiri masih sedikit, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. “Tidak banyak peneliti di dalam dan luar negeri yang melakukan penelitian di bidang ini,” ujarnya.

Salah satu penelitian skala besar yang diikuti pria kelahiran Salatiga ini adalah riset dengan kapal R/V Fakkor milik Scmidt Ocean Institute, Amerika Serikat, di perairan Sumatera Mei-Juni lalu.

Dalam penelitian yang diikuti pakar dari Singapura dan Prancis itu Nugroho menjadi Co Chip 2. Riset bertujuan memetakan struktur dan mekanisme gempa dan tsunami bawah laut di perairan yang sempat digoncang tsunami dahsyat (tsunami Aceh) pada 2004 lalu.

Kredit

Bagikan