"KAA Effect" Film garapan anak muda Bandung pecinta keberagaman

user
Farah Fuadona 21 Desember 2015, 11:06 WIB
untitled

Apa efek peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) dalam gegap gempita beberapa waktu lalu? Sebuah film dokumenter garapan mahasiswa pers kampus Savana STAI Persis Bandung mencoba menjawabnya.

Film berjudul KAA Effect itu mencoba mengkritik bahwa KAA bukan sekedar ajang ber-selfie di sekitar Gedung Merdeka. Ada yang lebih substansial dari serangkaian acara KAA, yaitu keberagaman atau diversity. Keberagaman merupakan salah satu nilai yang diwariskan semangat KAA untuk generasi saat ini.

Film KAA Effect mendokumentasikan fenomena selfie ketika peringatan 60 tahun KAA di Bandung beberapa waktu lalu. Film dikemas dengan mewawancarai sejumlah pelaku selfie, tukang parkir, PKL di sekitar Gedung Merdeka atau Museum KAA.

Dari dokumentasi tersebut, film mengingatkan bahwa KAA mengemban semangat keberagaman, bahwa dalam sejarahnya bangsa-bangsa berbeda di Asia dan Afrika bersatu melawan penjajahan. Pesan film menegaskan, bahwa efek KAA bukan hanya sekedar selfie atau berfoto di kawasan gedung sebagaimana dalam tagline-film, "Sejatinya, KAA melahirkan semangat keberagaman (diversity) bukan sekedar selfie".

Film KAA Effect kemudian berhasil menyabet juara dua Lomba Film Dokumenter Pendek 2015. Kompetisi digelar oleh Sastra Documentary Community Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Menurut Ketua Savana, Hasanudin, 21 tahun, ide pembuatan film muncul dari dosen pembimbingnya, Rosihan Fahmi. Awalnya ia dan kawan-kawan terkejut karena tidak memilki basic membuat film.
"Setelah kita coba, ternyata film KAA Effect mampu menjadi juara dua Lomba Film Dokumenter Pendek," katanya, di sela diskusi dan pemutaran film KAA Effect di Tobucil, Bandung.

Hasanudin melihat peringatan-peringatan KAA tidak terlalu memberi efek bagi masyarakat maupun pemerintah. Peringatan KAA lebih cenderung bersifat seremonial tiap tahunnya. Bahkan peringatan 60 Tahun KAA beberapa waktu lalu sempat membuat banyak pedagang kaki lima yang harus terusir dari lokasinya berdagang, serta masih banyak warganya yang hidup di jalan. "Di Bandung yang merupakan Ibu Kota KAA masih ada orang yang tidur di emperan dengan pendapatan tak jelas," ujarnya.

Sementara Rosihan Fahmi menambahkan, Film KAA Effect memang masih banyak memiliki kekurangan. Hal ini terjadi karena keterbatasan teknis. Peralatan untuk produksi film saja semuanya hasil pinjaman.

Selain itu, mahasiswa yang terlibat tidak satu pun yang memiliki basic film. Kendati demikian, film buatan Savana Picture ini berhasil menjuarai lomba. "Sehingga kami bisa membeli peralatan dan membayar kosan Savana untuk membuat karya berikutnya," katanya.

Kredit

Bagikan