Film bisu 'Semesta Bandung' ditayangkan perdana kemarin
Bandung.merdeka.com - Minggu (10/12) malam menjadi momen berharga bagi para sineas muda Kota Kembang. Sebuah film bisu bertitle 'Semesta Bandung' untuk pertama kalinya ditayangkan dalam acara Bekraf Festival.
Karya eksploratif dan kolaboratif dari delapan sutradara muda Kota Kembang dengan iringan musik scoring ini dipertunjukkan secara langsung, serta disaksikan di layar raksasa menggunakan fasat tembok gedung di area Gudang Persediaan PT KAI Bandung.
Film yang diproduksi oleh Bandung Film Council, Traffic Light Pictures (TLP) Studio, dan Rasamala Films ini berdurasi 24 menit. Film ini disurtadarai oleh Deden M. Sahid, Aria Gardhadipura, Bihar Jafarian, Abdalah Gifar Abisena, Gilang Bayu Santoso, Irvan Aulia, Roufy Nasution, dan Sofyana Ali Bindiar.
"Gagasan film gotong royong ini merupakan respon dari hasil penyelenggaraan Santos-Bandung Film Festival (SBFF) 2017 beberapa bulan lalu, sebuah festival film antar dua kota dunia dalam lingkaran UNESCO Creative Cities Network (UCCN)," ujar Produser film bisu 'Semesta Bandung', Sofyana Ali Bindiar.
Ia menjelaskan, kurator merasa film yang diproduksi oleh pembuat film Bandung sangat minim membicarakan kotanya sendiri. Hal ini berkebalikan dibandingkan film-film yang berasal dari Santos Brazil.
"Menjadi pertanyaan besar, apakah para pembuat film Bandung gagap dengan apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya atau merasa sudah bebal dengan apa yang tengah terjadi?," jelasnya.
Festival tersebut juga menghasilkan pertanyaan besar lainnya, yaitu bagaimanakah sebenarnya film Bandung itu? Apakah dia mewakili gaya atau aliran tertentu sehingga bisa disebut film Bandung? Bahkan dalam satu diskusi muncul bahwa film Bandung adalah yang majemuk dan jika diasosiasikan pada warna tertentu, dia berwarna “pelangi”.
Sehingga menjadi penting bagi kami, Bandung Film Council, untuk dapat melihat wajah kotanya sendiri tidak hanya melalui diskusi massif atau wacana-wacana besar.
"Kami ingin melihat Bandung dengan ruang yang lebih personal, melalui kacamata delapan sutradara muda yang ingin merefleksikan Bandung melalui filmnya masing-masing. Melalui semangat itulah kami memberikan ruang yang sebebas-bebasnya terhadap sutradara untuk mengambil gagasan yang akan dia capture, eksplorasi dan interpretasi seluas-luasnya terhadap pembacaan sebuah naskah," jelasnya.
Bahkan gaya kamera, warna film, penyutradaraan dan cara bertutur adalah murni menjadi hak prerogratif sang sutradara. Letupan-letupan energi spontan pun kami tuangkan dengan menjadikan karya ini menjadi film Bisu, yang akan diisi Live Scoring dalam penayangannya.
"Kami ingin film ini selalu segar dan baru dengan menggandeng Musisi-Musisi berbakat yang berbeda dalam penampilannya. Kali ini kami menggangdeng Ibrahim Adi dan Dissa Kamajaya. Kami ingin karya yang hadir adalah karya yang jujur yang mewakili perasaan sebagai warga kota," papar dia.