Indra Azwan, pejalan kaki keliling Indonesia tiba di Bandung
Bandung.merdeka.com - Indra Azwan, pria yang menjalankan aksi jalan kaki ke seluruh provinsi di Indonesia demi menuntut keadilan bagi anaknya yang menjadi korban tabrak lari, tiba di Bandung, Jawa Barat.
Bandung menjadi ibu kota provinsi yang ke-13 yang disinggahi pria berusia 57 tahun itu. Sebelumnya, 9 Februari 2016 ia memulai aksi jalan kakinya di Banda Aceh. Perjalanan berlanjut ke Jambi, Padang, Palembang, Lampung.
Ia lalu nyeberang ke Provinsi Banten. Hampir tiga bulan ia menempuh jalan kaki itu sebelum akhirnya tiba di Jakarta 22 April 2016. Dua minggu kemudian, Indra tiba di Bandung.
Rencananya Indra akan menemui gubernur Jabar atau yang mewakili untuk meminta tanda tangan bahwa dirinya sudah menginjakkan kakinya di Provinsi Jabar. Setiap kali mampir ke ibu kota provinsi, Indra selalu meminta tanda tangan dari perwakilan provinsi.
Tanda tangan tersebut dikumpulkan di lembaran mirip absensi yang selalu dibawanya. Di lembar absen itu tertera tanda tangan kepala-kepala daerah, antara lain Gubernur Banten Rano Karno dan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahyapurnama atau Ahok.
"Saya tidak minta apa-apa, hanya tanda tangan. Yang tanda tangan idak harus gubernur, kadang ada juga biro umum. Tapi rata-rata gubernur atau wakil gubernur mau menerima saya," kata Indra yang ditemui wartawan di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Senin (9/5).
Ayah empat anak itu tiba di Bandung Minggu (8/5), kemudian mendapat 'suaka' di Kantor LBH Bandung. Ia menuturkan, agenda utamanya ke Jakarta sangat serius, yakni melaporkan Presiden Keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pelaporan dilakukan terkait aksi jalan kaki Malang-Jakarta 2010. Sebelumnya ia telah berkali-kali melakukan aksi mogok makan di depan Istana Cikeas, Bogor. Lalu 10 Agustus 2010, SBY mau menemuinya dan berjanji akan membantu menyelesaikan penuntasan kasus tabrak lari anaknya.
Istana kemudian memberinya uang Rp 25 juta. Indra diminta menandatangani kuitansi sebagai tanda terima. "Entah uang apa itu. Yang jelas itu uang rakyat yang dihamburkan. Saya sudah kembalikan uang itu," kata Indra, seraya menunjukkan foto kopian kuitansi dengan kop dari rumah tangga istana.
Kuitansi itulah yang kemudian menjadi bahan laporan Indra ke KPK. Ia merasa pemberian uang Rp 25 juta sebagai upaya penyuapan presiden terhadap rakyatnya.
Agenda besar lainnya, kata Indra, adalah melaporkan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti ke Presiden Joko Widodo. Sebelum menjadi Kapolri, Badrodin pernah menjabat Kapolda Jawa Timur. Badrodin disebutnya telah melakukan sejumlah kebohongan terkait kasus kematian anaknya.
Selama perjalanan, Indra memakai ransel warna hijau yang bagian punggungnya bertuliskan 'terima Kasih Mahkamah Agung yang Menambah Penderitaan Saya 23 Tahun Mencari Keadilan'. Ia juga menggantungkan poster bertuliskan 'Kutagih Janjimu Presiden Aksi Jalan Kaki Keliling Indonesia'.
Tulisan-tulisan tersebut sebagai sindiran terhadap MA yang menolak upaya Peninjauan Kembali (PK). Lambannya kerja MA menunjukkan lemahnya administrasi peradilan Indonesia.
Indra berupaya mengajukan PK sejak 2013. Namun MA baru bereaksi setelah aksi jalan kaki Indra April lalu. Isi putusan MA tersebut adalah menolak PK.
Aksi jalan kaki Indra dipicu kematian anak sulung Indra, Rifki Andika pada 8 Februari 1993. Saat itu, Rifki yang duduk di bangku kelas enam SD, baru pulang kerja kelompok. Ia akan nyeberang Jalan Letjen S Parman menuju rumahnya di Genu WatuBarat Gang II Nomor 95 Kota Malang.
Saat menyeberang jalan itulah meluncur mobil dengan kecepatan tinggi dan menyambar tubuh Rifki. Kejadian ini membuat Rifki meninggal di tempat. Pelaku yang sempat kabur diketahui bernama Joko Sumantri, perwira menengah polisi.
Upaya hukum yang berlarut-larut dan penuh permainan sudah dilakukan. Joko Sumantri kemudian divonis bebas baik di pengadilan pertama maupun banding. Hingga terakhir upaya PK Indra menemui jalan buntu karena perkara tersebut dianggap kedaluwarsa.