Sebelum Bandung Lautan Api, Kota Bandung 'terbelah' dua

Oleh Mohammad Taufik pada 18 Maret 2016, 17:00 WIB

Bandung.merdeka.com - Sebelum peristiwa Bandung Lautan Api 24 Maret 1946, para pejuang di Bandung terlibat pertempuran sengit dengan pasukan Inggris. Mereka menyebut pejuang sebagai extremist. Mereka juga menjalankan strategi politik dan militer.

Strategi politik Inggris adalah melakukan diplomasi dengan Pemerintah RI di Jakarta pimpinan Perdana Menteri Sjahrir. Strategi militernya dengan melancarkan serangan dan pendudukan di daerah-daerah yang menjadi basis kekuatan bersenjata RI baik Tentara Republik Indonesia (TRI) maupun laskar.

"Tindakan militer bertujuan memperluas ruang gerak tentara Inggris dengan mendesak seluruh kekuatan bersenjata RI ke luar Bandung," kata tim penulis buku Saya Pilih Mengungsi, Ratnayu Sitaresmi, Aan Abdurachman, Ristadi Widodo Kinartojo, Ummy Latifah Widodo, dengan penyelia Suwarno Darsoprajitno.

Buku tersebut menuturkan, para pejuang di Bandung tidak tinggal diam menghadapi kedatangan pasukan Inggris yang membonceng Netherlands Indies Civil Administration (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda/NICA).

Perlawanan tersebut menghambat tugas-tugas Inggris di Bandung, yaitu melucuti senjata tentara Jepang dan memulangkannya, membebaskan warga-warga asing termasuk Belanda yang ditahan di interniran selama Jepang berkuasa.

Pada masa penjajahan Jepang, warga Belanda banyak ditahan di interniran yang merupakan kamp-kamp tahanan yang tersebar di Kota Bandung dan Cimahi.

Sengitnya perlawanan pejuang membuat pasukan Inggris (Allied Forces Netherlands East Indies/AFNEI) memberikan ultimatum pada 27 November 1945. Ultimatum menyatakan, penduduk pribumi di Bandung Utara, dengan batas rel kereta api, harus pindah ke selatan. Sementara Bandung Utara khusus didiami warga asing, yaitu orang Belanda, Eropa dan sebagian China.

Pelaksanaan ultimatum berlangsung tiga hari, yakni sampai 29 November 1945. Jika sampai batas waktu itu masih ada pribumi yang tinggal di utara rel kereta api kota Bandung, mereka akan ditangkap, dan pejuang yang bersenjata akan ditembak mati.

Awalnya, sebagai pasukan perdamaian, Inggris berusaha netral. Inggris baru bertindak jika pejuang RI menghalang-halangi upaya pembebasan interniran dan pelucutan senjata Jepang.

Di pihak pejuang, peran Inggris tidak dipahami sebagai 'pasukan perdamaian'. Pejuang juga sulit membedakan 'bule' Inggris dan 'bule' Belanda. Akibatnya di lapangan sering terjadi pertempuran sengit antara pejuang RI dan Sekutu yang mereka anggap membantu NICA.

Sementara di pihak NICA terus merancang strategi untuk menguasai kembali bekas Hindia Belanda lewat adu domba (devide et impera) antara tentara Inggris dan pejuang, pribumi golongan priyayi dan pejuang, serta etnis China dengan pejuang.

Banyak pertempuran di Bandung Utara antara pejuang dan Inggris. Pertempuran sengit antara lain terjadi di sarang-sarang pejuang seperti Haurpancuh, Cihaurgeulis, Sadangsaip. Meski Inggring menggempur habis-habisan dengan kekuatan udara, para pejuang melawan sekuat tenaga.

Batas waktu ultimatum telah habis, namun masih ada pribumi yang tinggal di utara, hanya sebagian yang mengungsi, sebagian lagi memilih bertahan dan melawan. Hal itu memicu kemarahan Inggris dan mendorong Inggris melancarkan serangan membabi buta.

NICA lewat Indo-Belanda terus melakukan provokasi dengan menyerang rumah-rumah penduduk. Ketika Inggris sibuk membebaskan interniran dan melucuti senjata Jepang, Belanda sibuk menyusun strategi untuk melanjutkan penjajahan di Indonesia.

Pembagian Kota Bandung menjadi dua juga sebagai strategi Belanda yang disarankan kepada Inggris. Tujuannya untuk menempatkan kembali bekas interniran Belanda dan pendaratan pasukan Belanda di Bandung, khususnya di Bandung Utara.

Para interniran Belanda ingin secepatnya menempati rumah-rumah dan segala fasilitas di Bandung yang sebelumnya mereka tinggalkan karena kedatangan Jepang. Dengan kedatangan Sekutu, mereka berharap dapat memulihkan status sebagai penjajah dengan hak-hak istimewanya.

Namun kondisi telah berubah setelah pendudukan Jepang selama 3,5 tahun. Penjajahan Jepang di Indonesia di sisi lain berdampak pada bangkitnya semangat perlawanan pribumi terhadap penjajah asing.

"Kemudian Inggris membagi Bandung menjadi dua, utara dan selatan. Pembagian (wilayah) itu disertai dengan kegiatan-kegiatan si Belanda itu untuk menyerang penduduk yang ada di utara. Pribumi diusir ke selatan. Mereka menderita sekali dengan adanya pemisahan (kota) Bandung," kata salah seorang narasumber Saya Pilih Mengungsi, Aboeng Koesman.

Sejak ultimatum diberikan, ribuan pengungsi terus mengalir dari Bandung Utara ke Bandung Selatan. Mereka disambut penduduk Bandung Selatan dengan baik. "Sebuah harga yang harus ditebus rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan," kata tim penulis Saya Pilih Mengungsi.