Ketua PSPK Unpad sebut penjara khusus teroris perlu dibangun
Bandung.merdeka.com - Rencana merevisi UU No 15/2003 tentang terorisme bergulir paska teror bom Sarinah, Jakarta. Ketua Pusat Studi Politik & Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran, Bandung, Muradi, menyatakan bahwa esensi revisi undang-undang tersebut untuk mengefektifkan pemberantasan terorisme dalam perspektif penegakan hukum.
âMeski ada tuntutan dari BIN untuk memasukkan pemberian kewenangan untuk menangkap dan menginterogasi terduga terorisme, namun perlu ditegaskan bahwa esensi revisi undang-undang anti teror tersebut adalah bagaimana mengefektifkan pemberantasan terorisme dalam perspektif penegakan hukum,â ungkap Muradi, melalui keterangan tertulis yang diterima Merdeka Bandung.
"Dalam pengertian bahwa revisi yang dilakukan harus tetap berpijak pada kewenangan yang melekat di masing-masing institusi terkait," jelasnya.
Karena itu, kata dia, perlu dipertimbangkan lima hal yang dapat dimasukkan dalam revisi undang-undang terorisme. Pertama, kewenangan yang lebih besar untuk Polri guna menangkap personal maupun kelompok yang teridentifikasi berhubungan dengan organisasi teror.
"Penangkapan tersebut diperuntukkan bagi penyidikan dalam mengindentifikasi keterlibatan dan atau kemungkinan potensi melakukan aksi teror dan penyebaran paham radikal. Perluasan kewenangan dalam menangkap dan menyelidiki sejumlah potensi dalam penyebaran paham radikal dan aksi teror tersebut berbatas waktu, yakni jika polri tidak dapat menemukan keterlibatan dengan jejaring teror, maka maksimal 6 bulan harus dibebaskan," paparnya.
Kedua, kata dia, revisi UU Terorisme juga harus mempertimbangkan pembatasan kewenangan dari BNPT yang hanya pada dua kewenangan saja, yakni kewenangan untuk mengkoordinasikan institusi terkait dan perencanaan strategi pemberantasan terorisme yang dapat menjadi acuan bagi institusi-institusi terkait.
"Maka otomatis kewenangan BNPT dalam operasional tidak lagi melekat," katanya.
Ketiga, lanjut dia, Revisi UU Terorisme harus menegaskan pendanaan pemberantasan terorisme. Meski sudah diatur dalam UU Terorisme yang ada saat ini, namun perlu juga dalam revisi nanti ditegaskan pemanfaatan dukungan dan bantuan asing dalam pemberantasan terorisme.
"Hal itu untuk menegaskan bahwa setiap kebijakan dan langkah yang dilakukan oleh pemerintah harus dilihat sebagai kebijakan yang mandiri tanpa ada intervensi asing, karena adanya bantuan pemberantasan terorisme," katanya.
Keempat, perlu dipertimbangkan untuk melakukan spesialisasi fungsi pada sejumlah unit anti teror yang ada, selain Densus 88 dan unit anti teror di militer. Sehingga permasalahan leading sector tidak lagi menjadi isu utama dalam pemberantasan terorisme yang menekankan pada penegakan hukum. Spesialisasi fungsi salah satunya penekanan pada kemampuan yang melekat di masing-masing unit anti teror dengan tetap menitikberatkan pada penegakan hukum.
"Khusus untuk BIN, penting untuk ditegaskan pada koordinasi intelijen dalam pemberantasan terorisme dalam bentuk fungsi intelijen," katanya.
Kelima, kata Muradi, penekanan bahwa terorisme adalah kejahatan luar biasa yang mana penanganannya membutuhkan kekhususan. Salah satunya ada pada lembaga pemasyarakatan khusus yang mampu mengoptimalkan program deradikalisasi.
"Kebijakan mencampurkan tahanan teroris dengan tahanan kriminal biasa selama ini justru memperkuat paham radikal. Dengan menegaskan di undang-undang, maka ada amanat untuk membangun penjara khusus tahanan teror agar mampu mencegah meluasnya paham radikal," katanya.