Ahli hukum tata negara sebut putusan MK bersifat prospektif
Bandung.merdeka.com - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 182Â huruf l UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menafsirkan frase 'pekerjaan lain' termasuk pengurus parpol, patut dihargai, meski terbuka peluang diperdebatkan secara akademik.Â
Menurut Ahli Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UKSW Salatiga, Umbu Raut, secara normatif, keberlakuan putusan MK sejak diputus dalam persidangan sehingga bersifat prospektif atau tidak berlaku surut.
"Pasca putusan MK tersebut, maka salah satu persyaratan menjadi anggota DPD yaitu bukan pengurus parpol," ungkap Umbu dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (15/9).
Namun, lanjut dia, muncul perdebatan terkait keberlakuan putusan MK tersebut dikaitkan dengan tahapan penyelenggaraan pemilu legislatif yang telah berjalan jauh sebelum putusan MK tersebut hadir. Â
"Asas hukum yang dapat digunakan yaitu efek keberlakuan putusan MK yang tidak berlaku surut maupun asas praduga konstitusional (presumtio iustae causa).Â
Artinya, sebelum putusan MK tersebut, warga negara yang kebetulan menjadi pengurus Parpol berhak atau tidak dilarang untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD," urainya.
Umbu menerangkan, keikutsertaan seseorang menjadi anggota DPD adalah pilihan yang dijamin secara konstitusional melalui UU Pemilu. Ketika muncul putusan MK yang menyatakan sebaliknya, maka seharusnya efek keberlakuan putusan MK dimaksud untuk pemilihan umum legislatif masa yang akan datang.
"Tentunya dengan pertimbangan sebagai berikut. Pertama proses dan tahapan pemilu legislatif telah berlangsung sebelum hadirnya putusan MK, sehingga memberlakukan suatu norma baru di tengah proses dimaksud sangat merugikan peserta pemilu yaitu calon perseorangan. Asas hukum bahwa aturan yang baru mesti lebih memberikan keuntungan bagi pihak yang dikenai aturan atau addresat," kata dia.
Ketua Pusat Kajian Pembaharuan Regulasi UKSW itu juga menjelaskan, ada preseden dalam putusan MK Nomor 14 PUU - XI/2013 tentang penyelenggaraan pemilu legislatif dan Pilpres serentak, yang mana diputus saat proses pemilu telah berjalan tahun 2013 dan 2014.
"Namun diberlakukan bukan untuk pemilu 2014 tetapi untuk pemilu berikutnya yaitu pemilu 2019," katanya.
Â