Peluncuran dan pembacaan novel Babad Ngalor Ngidul di Wot Batu

Oleh Farah Fuadona pada 02 Juni 2016, 10:23 WIB

Bandung.merdeka.com - Dalam rangkaian Festival Printemps Français 2016, Institut Prancis di Indonesia (IFI) menggelar peluncuran dan pembacaan novel Babad Ngalor Ngidul (Tohu-bohu dalam bahasa Prancis) oleh penulis asal Prancis, Elizabeth D. Inandiak.

Elizabeth tak sendirian karena ia ditemani oleh Endah Laras penembang asal Solo yang sebelumnya juga pernah berkolaborasi dengan Elizabeth dalam pembacaan novel “Serat Centhini” di Berlin beberapa waktu lalu, pada Jumat 3 Juni 2016 di Wot Batu.
 
Elizabeth D. Inandiak berkewarganegaraan Prancis namun berjiwa Indonesia. Datang ke Indonesia 25 tahun lalu sebagai jurnalis, Elizabeth Dasnière yang dihormati masyarakat Yogyakarta ini lebih dikenal dengan nama “Inandiak” yang artinya “Ibu nan bijak” dalam bahasa Tetun.

Ketertarikannya pada karya sastra pujangga Jawa Centhini berawal dari membaca disertasi doktor di Universitas Sorbonne, Paris, yang ditulis oleh Menteri Agama RI pertama, Mohammad Rasyidi, yang berjudul Critique et Consideration du Livre Centhini (Kritik dan Pemikiran atas Serat Centhini).

Inandiak pun mendapat dukungan Duta Besar Prancis untuk Indonesia Thierry de Beauce (1996) untuk membiayai saduran mahakarya yang terancam punah tersebut. Karyanya Centhini: Les chants de l'île à dormir debout setebal 500 halaman mengantarnya meraih penghargaan dari Association des Ecrivains de Langue Française (2004).

Atas dedikasi di bidang sastra dan duta persahabatan Indonesia-Prancis, Inandiak menerima medali kehormatan Chevalier de la Légion d’Honneur dari Kementerian Kebudayaan dan Komunikasi yang diwakili Duta Besar Prancis untuk Indonesia Corrine Breuzé, pada 2 September 2014.
 
Mengenai novel terbarunya, Babad Ngalor Ngidul (Tohu Bohu) Inandiak menjelaskan bahwa buku ini sebenarnya berawal dari cerita Pohon Gajah yang ia tulis di bulan Juni 1991, untuk menyambut kelahiran anaknya. Kemudian cerita itu berkembang sejak terjadinya letusan gunung Merapi di Jogja pada tahun 2006.

“Buku ini membawa kita ke sepuluh tahun silam, Mei 2006, ketika gempa menimpa Jogja bagian selatan sampai saat terakhir Si Juru Kunci Merapi. Letusan gunung Merapi itu kita namakan “bencana alam”. Padahal itu tak lain adalah percakapan lama yang terlupakan (ngalor-ngidul) antara apa yang berada di utara (lor) dan apa yang berada di selatan (kidul), yaitu antara Laut Selatan dan Gunung Merapi,” tambah Elizabeth mengenai bukunya dari rilis yang diterima Merdeka Bandung, Rabu (1/6).


Sebelum merilis buku ini di Jakarta, Babad Ngalor-ngidul sudah dibahas pula di Makasar International Writer’s Festival 2016, yang diinisiasi oleh pujangga Aan M Mansyur (penulis puisi Tidak Ada New York Hari Ini).
 
Pemilihan Wot Batu sebagai tempat digelarnya acara ini pun bukan tanpa kesengajaan. Wot Batu yang merupakan konfigurasi energi yang muncul dari perjalanan spiritual sang maestro Sunaryo adalah perpaduan yang pas bagi topik Babad Ngalor Ngidul.

Lahan terbuka seluas lebih kurang 2000 meter persegi yang diisi oleh batu-batu  yang kebanyakan adalah batu vulkanik merupakan medium bagi karya Sunaryo yang tak lekang dimakan waktu. Setiap guratan yang tertoreh dimaksudkan menjadi warisan bagi generasi yang akan datang.

Sunaryo menciptakan Wot Batu sebagai “jembatan spiritual” : keseimbangan antara jiwa manusia dan manifestasi kehidupan. Di Wot Batu tanah, api, air dan angin berkomunikasi dalam harmoni. Wot Batu adalah wacana tentang ruang dan waktu–sebuah kesadaran tentang eksistensi manusia dalam semesta yang tanpa batas.
 
Dalam penulisan novel Babad Ngalor Ngidul ini, Inandiak terinspirasi gaya menulis sastrawan Indonesia seperti Ahmad Tohari, Sindhunata, Ayu Utami, Dee Lestari, Gunawan Maryanto dan alm. Rongowarsito. Novel ‘Saman’ karya Ayu Utami telah ia terjemahkan dalam bahasa Prancis dan diterbitkan oleh penerbit Flamarion (2008).

Inandiak pun berambisi menerjemahkan puisi-puisi karya alm. Rongowarsito yang ia sebut sebagai “Victor Hugo dari Indonesia”. Di Babad Ngalor Ngidul, Inandiak dibantu editor Christina M. Udiani dari Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), yang juga mendampinginya untuk penyuntingan novel sebelumnya, Serat Centhini.

“Elizabeth memiliki gaya menulis yang berbeda dari umumnya. Ia memperhatikan kata yang dipilih, ada rima tersendiri dan percakapannya terkesan seperti sedang berpuisi, namun tetap terasa wajar jika kita ucapkan sehari-hari. Tak banyak penulis kita yang mampu melakukan hal seperti itu disini,” ujar Christina yang juga merupakan editor untuk karya sastra lainnya seperti Pulang (Leila Chudori), Puya Kepuya (Faisal Odang) atau non fiksi Puasa Ramalan (Peter Carey).
 
Â

Tag Terkait