Monolog Tan Malaka, sisi lain Marxisme

Oleh Farah Fuadona pada 26 Maret 2016, 12:02 WIB

Bandung.merdeka.com - Musik dari gesekan biola mendayu-dayu saat teater monolog Tan Malaka: Saya Rusa Berbulu Merah mulai diperankan Joind Bayuwinada naik ke atas panggung mini di Auditorium Institut Francais Indonesia (IFI) Bandung, Kamis (24/3) malam.
 
“Nama saya Tan Malaka, lahir di surau kecil Minang Kabau. Suatu hari saya entah ada di mana. Jika ada kehidupan kelak orang pertama yang akan saya temui adalah ibu saya. Karena saya tak pernah ziarahi merka,” kata Joind, Kamis (24/3) malam.
 
Joind mengenakan setelan putih khas pejuang masa kemerdekaan, model pakaian yang kurang lebih biasa dipakai Tan Malaka (1897-1949) di masa perjuangannya. Lewat monolognya, Joind seperti memberikan kesempatan pada “Tan Malaka” yang selama ini diliputi misteri tetapi namanya terngiang mewarnai perjalanan republik.

 
“Nama Tan Malaka mengingatkan orang pada kebencian dan pintu penjara,” ujarnya lirih, di atas panggung yang hanya terdiri dari sebuah meja dan dua kursi berhadap-hadapan.
 
Di atas panggung selama monolognya Joind kadang berdiri, duduk di kursi yang satu menghadapi secangkir kopi, dan pindah ke kursi lainnya. Garis-garis lampu warna merah menjadi background panggung. Lagu syahdu tentang “Saya Rusa Berbulu Merah” lamat-lamat mengalun.
 
Tahun 1922, kata “Tan Malaka,” dirinya ditangkap Belanda di Bandung dibawa ke Surabaya, kemudian dibuang ke luar negeri. “Saya diusir dari tanah air,” katanya. Ia ditangkap karena mendidik pribumi agar berdikari, agar pintar. Tapi bagi pemerintah kolonial, mendidik pribumi sama dengan menghasut.
 
Tahun itu pula ia bertolak ke Moskow, Uni Soviet. Di negeri Stalin itu ia berbeda pendapat dengan partai komunis. Ia tidak setuju Moskow memusuhi Syarikat Islam (SI). Selama di tanah air, Tan Malaka memiliki hubungan yang dekat dengan SI.
 
“Saya menolak Moskow membenci pan Islamisme. Tak ada alasan memusuhi Syarekat Islam karena gerakan ini memusuhi imperialism-kolonialisme kapitalis. Komunisme bisa kerja sama dengan mereka. Itu membuat kominteren (partai komunis) memusuhi saya,” katanya.

Ia juga menolak menyetujui  pemberontakan PKI di Madiun pimpinan Muso 1948. Pemberontakan tersebut gagal karena persiapan yang sangat kurang, terutama sokongan massa. Dan akhirnya pemberontakan gagal. “Saya lalu dipecat partai (PKI),” katanya.

Tetapi baginya partai bukanlah satu-satunya rumah bernaung bagi komunisme. Menurutnya partai terlalu kecil untuk mewadahi sebuah paham komunis-sosialis. Dengan atau tanpa partai, sosialisme akan terus melakukan perlawanan terhadap borjuis kapitalis.
 
“Tan Malaka” kemudian menceritakan perjuangannya selama di pengasingan, menyamar dengan memakai banyak nama, di Filipina, Singapura, Hongkong, Cina, dan kembali ke Indonesia seperti Banten, Jakarta, dan lainnya.
 
“Nama saya Tan Malaka, Ilyas Husein di Banten, Elias Fuentes atau Aulivio Livera di Filipina, Ong Son Lie di Hongkong, Tan Mi Cio atau Ceng Huan Tek di Cina, atau Hasan Ghazali di Singapura, dan Abdul Rozak jika kita bertemu di rapat-rapat istana (Jakarta),” katanya.

Dalam monolog itu, Joind “Tan Malaka” menuturkan tiga fase kehidupannya, yaitu prakemerdekaan, saat kemerdekaan, dan pascakemerdekaan. Setelah kemerdekaan ia juga menyinggung-nyinggung surat wasiat dari Presiden RI, bahwa jika Presiden dan Wakil Presiden ditangkap Belanda, Tan Malaka yang menjadi pemimpin revolusi.
 
Situasi republik memang sedang perang menghadapi Inggris dan Belanda. Ketika Presiden dan Wakil Presiden ditangkap, Tan Malaka memenuhi panggilan wasiat. “Saatnya saya menggunakan wasiat yang memberikan kekuasaan pada saya untuk pimpin revolusi,” katanya seraya menggamit tas selendangnya.
 
Pertunjukkan pun selesai, penonton yang menjejali Auditorium IFI Bandung memberikan tepuk tangan yang panjang.
 
Penulis naskah Tan Malaka: Saya Rusa Berbulu Merah, Ahda Imran mengatakan gerakan kiri di Indonesia adalah fakta historis yang sudah dimulai sejak 1919. Mereka ada dengan pola-pola gerakan yang berbeda-beda. Pola komunisme tahun 40-an berbeda dengan pola tahun 48 dan 65.
 
Namun yang dipahami selama ini justru hanya pola peristiwa 65 saja. Sementara Tan Malaka dihapuskan seperti bagaimana hidupnya. “Tan Malaka jadi pelarian, dimusuhi partai komunis sendiri, tragisanya ia dibunuh di tangan anak bangsa,” kata Ahda.
 
Ia menilai, ide komunisme Tan Malaka berbeda dengan komunisme lainnya. Ia juga berbeda dengan pendiri bangsa lainnya, yang tidak setuju politik diplomasi yang dijalankan Soekarno, Hatta, Sjahrir. Tan Malka juga ngotot membela pan islamisme.

“Tan Malaka adalah komunis yang sudah makrifat, sudah melampaui simbol dan makna. Bagi dia esensi marxiame tak perlu partai. Sebuah paham terlalu kecil untuk diwakili partai. Marxiame terlalu kecil dipasung partai. Yang penting semangatnya bukan embel-embelnya,” kata Ahda.
 
Pementasan sendiri dipilih Rabu 23 Maret 2016 dan Kamis 24 Maret 2016, meski akhirnya pementasan menjadi hari Kamis saja. Tanggal 23 Maret sengaja dipilih karena 53 tahun yang lalu, tepatnya 23 Maret 1963, berdasarkan Keputusan Presiden No.53 Tahun 1963, Sukarno menetapkan Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional.
 
Pimpinan produksi Heliana Sinaga menambahkan, monolog ini bukan propaganda idelogi. Apalagi provokasi makar, subversif, atau tetek-bengek lainnya. Monolog ini hanya ingin mengajak khalayak luas memeriksa kembali sosok revolusioner yang karena pemikirannya seringkali ditakuti dan dimusuhi.

Tag Terkait