Tak direstui guru, siswa SMA Bandung gelar pameran lukis sendiri
Bandung.merdeka.com - Pameran seni rupa yang digelar ekskul Five Art SMAN 5 Bandung sempat mendapat penentangan dari para guru. Di kalangan para guru, seni rupa dipandang negatif.
Namun siswa anggota Five Art tetap menggelar pameran dengan modal sendiri. Akhirnya, terpapajanglah 49 lukisan, patung dan instalasi di galeri Gedung Indonesia Menggugat Bandung. Karya-karya tersebut dibuat siswa kelas satu sampai kelas tiga SMA.
Pameran ini menunjukkan bahwa seni rupa digemari generasi muda. Selain itu, pameran hasil kreativitas bisa digelar siswa-siswi SMA secara swadaya. Untuk itu, anggota Five Art harus banting tulang patungan.
"Untuk pendanaan kita mencarinya door to door, ada yang hasil usahanya disumbangkan untuk modal pameran," kata ketua panitia Affif Kusumah (16) kepada Merdeka Bandung.
Ia menuturkan, ada beberapa anggota Five Art yang usaha jualan kue hingga menerima pesanan menggambar. Acara ini juga didukung para alumnus Five Art SMAN 5. Bagi anggota Five Art, pameran merupakan acara 'sakral' yang mesti digelar.
Para guru SMAN 5 yang sebelumnya menentang, akhirnya beberapa ada yang datang ke pameran. "Respon pihak sekolah sebelumnya kurang bagus. Sekarang setelah melihat hasil pameran, mereka cukup baik. Ada sekitar 10 guru yang datang ke sini," katanya.
Di saat pembukaan, lanjut dia, tidak ada satu pun guru yang hadir. Kendati demikian, ia berharap ke depan para guru maupun pihak sekolah mau mendukung kegiatan seni rupa.
"Kami tak peduli nilai kami menjadi bagus dengan menggelar pameran ini. Bagi kami mereka sudah datang melihat pameran kami senang banget. Ke depan diharapkan sekolah mendukung acara kami," ujar pria bercita-cita sekolah di Arsitektur ITB.
Kurator pameran, Falah Fadhlurrahman Syafei menambahkan, prestasi siswa tidak harus selalu melalui jalur akademis. Prestasi bisa diraih lewat jalur non-akademis antara lain lewat ekskul seni rupa.
Namun pihak sekolah atau guru menilai kegiatan seni rupa anak didiknya terlalu nyeleneh atau bebas. Hal ini menunjukkan seni masih dipandang negatif bagi pihak sekolah.
Menurut dia, pandangan sekolah yang negatif terhadap seni mungkin karena seni sendiri sulit dimengerti sementara jembatan kesenian dengan awam masih kurang.
Namun dengan digelarnya pameran, secara tidak langsung menjadi jawaban bahwa anak-anak SMA bisa menggelar acara tanpa dukungan sekolah. "Akhirnya guru-guru pada datang, meski sebelumnya tidak setuju dengan kegiatan seni rupa komunitas kami," katanya.
Ke depan, kata dia, diharapkan pihak sekolah mendukung. Sebab seni terkait dengan bakat dan kemampuan siswa. "Mereka punya bakat dan minat, dan kegiatannya pun positif. Bisa dibilang sangat jarang anak yang masih di bangku sekolah menggelar pameran seni rupa," katanya.