Pameran tunggal Bunawijaya 'Menghadapi Stigma Mooi Indie' hadir di Selasar Sunaryo
Bandung.merdeka.com - Pada zaman kolonial lukisan pemandangan alam dijuluki lukisan mooi IndieÌ (Hindia molek) yang sekadar memenuhi kebutuhan orang-orang Belanda membawa pulang kenang-kenangan tentang keindahan Hindia Belanda. Pada zaman kemerdekaan, lukisan ini malah disebut-sebut, âlukisan pinggir jalan.â.
Dari siaran berita yang diterima Merdeka Bandung, hal tersebut disebabkan uraian S. Sudjojono yang menyederhanakan seni lukis pemandangan alam sebagai, âSemua serba bagus dan romantis, tenang dan damai. Lukisan- lukisan tadi tidak lain hanya mengandung satu arti: Mooi Indie.â Kekaburan itu membuat kritik mooi IndieÌ menyasar secara liar wacana seni lukis pemandangan alam.
Bersamaan dengan ini ujaran sinis mooi Indie yang menempel pada lukisan-lukisan mereka, merusak citra lukisan pemandangan alam dan menjadi stigma wacana seni lukis pemandangan alam pada sejarah seni rupa Indonesia. Sampai sekarang.
Stigma mooi Indie itulah yang dihadapi Bunawijaya. Ia pencinta alam yang melukis pemandangan alam. Seperti lukisan pemandangan alam lain, lukisannya dianggap sejenis lukisan mooi IndieÌ. Adanya stigma itu tidak membuat Bunawijaya berhenti. Ia memutuskan untuk terus melukis berdasarkan keyakinannya sendiri, dan survived.
Sesudah 2015 lukisan-lukisannya memperlihatkan perhatian pada langit, awan dan horison. Untuk menampilkan ketiganya ia mulai menjelajahi seascape, idiom yang sering digunakan untuk menampilkan misteri alam. Ia meninggalkan landscape, idiom yang lazim digunakan untuk menyajikan keindahan yang membangkitkan rasa nyaman.
Pada perkembangan baru ini ungkapannya berpangkal pada ide dan imajinasi di mana pengalaman merasakan keindahan bisa lebih intensif bersentuhan dengan renungan, bahkan pemikiran. Menegaskan perkembangan itu, pameran tunggal Bunawijaya pada 2017 ini dilengkapi interaksi dengan Eldwin Pradipta, yang dikenal sebagai seniman video.
Eldwin Pradipta mengangkat gambaran pada seri lukisan seascape Bunawijaya, kemudian menggerakkan awan, riak-riak laut, dan, ombak yang menerpa batu karang di pusat seascape untuk menampilkan rekaan realitas yang tidak ada dalam kenyataan.
Pameran ini disusun sebagai pameran keliling yang dimulai dari SSAS, Bandung kemudian ke Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Selain pameran, budayawan Jean Couteau juga akan membedah buku biografi âBuna, Suka Duka Sang Kelanaâ untuk mengenalkan lebih jauh riwayat hidup dan petualangan Bunawijaya di dunia seni rupa.
Diselenggarakan di Selasar Sunaryo Art Galery, pameran ini akan berlangsung hingga 26 November 2017. Rencananya, pameran sendiri akan dibuka mulai Jumat (10/11) mendatang.