Cerita para kolektor dalam berburu buku-buku antik
Bandung.merdeka.com - Ngabuburit (menunggu waktu buka puasa) dengan cara unik dilakukan komunitas Ulin Bandoeng. Komunitas literasi ini mengunjungi rumah-rumah kolektor buku antik, salah satu rumah Kang Dede di Jalan Cimanuk, Bandung.
Acara Ulin Bandung tersebut dimulai pukul 09.30 WIB. Kang Dede menyambut kedatangan komunitas dengan ramah di beranda rumahnya yang asri. Obrolan pun mengalir, mulai dari buku-buku yang dikoleksi Kang Dede hingga gagasan-gagasannya.
Pria 46 tahun itu menuturkan, sebelum mulai mengoleksi buku terlebih dahulu dirinya mengoleksi kartu pos. Itu dimulai 16 tahun lalu. Namun karena koleksi kartu pos cukup sulit, lulusan Biologi ITB 1995 ini kemudian beralih mengoleksi buku.
Buku pertama yang ia beli adalah majalah Djadja dibelinya saat kuliah. Sejak itu minatnya mengoleksi buku tumbuh cepat. Terlebih pada 2000-an buku-buku antik di tukang loak Bandung lagi mudah-mudahnya didapat, harganya murah.
“Pada 2005-2010 jumlah buku lebih banyak, gampang banget itu di tukang loak,” kenang ayah satu anak ini, Sabtu (25/6).
Waktu itu belum marak internet, jadi pembelian dilakukan secara langsung keliling dari satu tukang loak ke tukang loak lainnya. Saat berburu buku, ia juga bertemu dengan kolektor lainnya sehingga terjadi saling tukar informasi, kadang saling panas-panasi dengan buku koleksi masing-masing.
“Kolektor minatnya berkembang, itu penyakit,” kata Dede. Karena minat kolektor yang berkembang, semua jenis buku ingin dikoleksi. Bahkan Dede mengoleksi perangko, kartu undangan, peta hingga kertas merek kain.
“Saya pernah membeli sekarung kertas merek kain,” katanya seraya menunjukkan selembar kertas dengan gambar perempuan yang biasa tertempel pada gulungan-gulungan kain.
Berikutnya volume belanja buku meningkat. Dede sudah memiliki tukang loak langganan yang biasa mengantarkan satu atau dua gerobak yang berisi buku-buku bekas.
Jadi sebelum tukang loak tersebut memasok buku bekas ke kios-kios buku bekas di Bandung, terlebih dulu mampir ke rumah Dede.
“Dulu memborong satu gerobak murah. Satu gerobak itu ditumpahin, lalu tinggal dipilih tahu-tahu ada yang wah. Kalau sekarang kan sudah mahal-mahal,” katanya.
Menurutnya, di Bandung banyak sekali kolektor buku-buku tua. Bahkan ada yang lebih “maniak” dari dirinya. “Teman saya ada yang sekali beli buku satu mobil. Setahun bisa sampai tiga mobil,” tuturnya seraya terbahak.
Suka dan duka koleksi buku
Saat menerima Komunitas Ulin Bandung, Dede mengajak ke salah satu ruang penyimpanan bukunya. Ruang dengan luas sekitar 4x4 meter itu penuh dengan lemari berisi buku. Bangian tengah ruangan juga terdapat meja yang penuh dengan berbagai jenis buku, mulai komik, buku agama, novel, atlas, majalah terbitan lama dan lain-lain.
“Kalau dihitung-hitung kurang lebih ada 10 ribu koleksi,” kata Dede.
Selain di rumahnya di Jalan Cimanuk, Kang Dede juga menyimpan koleksinya di rumahnya lain, yakni Jalan Jakarta, Bandung. Sebab tidak semua buku koleksinya masuk ke dalam satu rumah.
Sedangkan musuh utama koleksi bukunya adalah air. Pernah suatu waktu saat hujan deras, salah satu ruang penyimpanan bukunya bocor hingga mengenai 10 kardus bersi majalah dan satu lemari berisi buku wayang dan sejarah.
“Semuanya hancur. Waktu itu saya sampai lemes, syok,” katanya.
Buku yang dikoleksi Dede tidak fokus pada tema tertentu. Ia mengoleksi semua jenis buku, termasuk cerita silat Wiro Sableng sampai stensilan Eny Erow. Begitu juga dengan buku-buku sejarah tentang Bandung.
“Saya kalau membeli buku impulsif, sporadis,” katanya. Ia menyarankan, bagi generasi muda yang ingin mulai mengoleksi buku lebih baik memilihnya berdasarkan tema.
“Yang paling bagus kalau mau mulai koleksi harus ada tema. Nah mencari temanya itu yang susah. Usahakan tema berbeda dengan kolektor lain,” katanya.