Hadiri KLN Talks, Ridwan Kamil beberkan sejarah nongkrong di Bandung

user
Farah Fuadona 27 Februari 2016, 10:54 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Wali Kota Bandung Ridwan Kamil menghadiri acara Ngariung Sareng Kang Emil jeung Komunitas Bandung yang digelar KLN Talks dan Merdeka.com di Tjendana Bistro, Jalan Sukajadi, Bandung, Jumat (26/2) malam.
 
Pada acara yang dihadiri sedikitnya 40 komunitas Bandung itu, Wali Kota yang akrab disapa Kang Emil itu membeberkan sejarah ngariung alias nongkrong di Bandung.
 
Mengenakan batik kuning dengan motif hitam, Emil mengaku nyaman bisa hadir di tengah-tengah komunitas. “Dengan komunitas saya merasa satu frekuensi,” katanya membuka paparan, disambut riuh komunitas.
 
Bandung, kata dia, dahulu adalah danau purba. Bandung memiliki sekitar 40 sungai kecil-kecil. Tak ada kerajaan di Bandung. Kerajaan banyak berdiri di Garut, Bogor, Sumedang dan lainnya. “Bandung itu nol kilometer. Baru 1810 Daendles datang, awalnya ke Dayeuhkolot,” katanya.
 
Namun Dayeuhkolot sering terkena banjir. Jadi, kata dia, banjir di Dayeuhkolot, Bandung Selatan, sudah terjadi sejak zaman Belanda. Kemudian Herman William Daendels yang merupakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda (memerintah 1808-1811) mencari titik nol baru di kawasan Bandung.
 
Kawasan Alun-alun Bandung kemudian ditetapkan menjadi pusat kota. “Karena dari nol, Bandung didesain dari nol. Di kilometer nol dibangung pasar, alun-alun, masjid agung, penjara Banceuy dan pendopo. Itulah rumus Belanda dalam membangun sebuah kota,” terangnya.
 
Puncak keemasan pembangunan Bandung terjadi pada 1920-an. Waktu itu, kata Emil, banyak seniman atau ilmuwan Eropa yang datang ke Bandung. Mereka mencurahkan segala ekapresi seninya. Di bidang arsitektur, mereka banyak membangun gedung-gedung dengan berbagai gaya arsitektur, antara lain gaya hybrid, klasik, neoklasik dan lainnya.
 
“Maka 1920 Bandung disebut Paris van Java karena keren pisan,” ujarnya.
 
Paris van Java hanya dihuni 300 ribu penduduk, meningkat tajam dibanding sekarang yang mencapai 2,5 juta. Setelah kemerdekaan, lanjut Emil, Belanda pergi. Sementara pola pembangunan peninggalan Belanda ditinggalkan.
 
Menurutnya, faktor cuaca menjadi alasan utama orang nyaman datang dan tinggal di Bandung. Cuaca Bandung yang sejuk, kata dia, melahirkan orang-orang yang rileks, ramah. Beda dengan daerah dengan cuaca panas yang pembawaannya cenderung temperamen.

“Di Bandung maju mundur jalan-jalan enak seperti kata Syahrini. Bandung enak untuk kontemplatif, merenung kemudian melahirkan karya. Itu kenapa banyak lahir budayawan dari Bandung, karena Bandung enak untuk berpikir,” katanya.

Survey majalah Rolling Stones, kata dia, menyimpulkan bahwa kreativitas warga Bandung timbul karena kebiasaan nongkrong sambil ngobrol. Bertukar ilmu dan wawasan kemudian membuat karya. “Makanya jumlah komunitas di Bandung lebih dari 5 ribu,” katanya.

Nongkrong dan kreativitas menjadi kultur orang Bandung. Dari situ banyak tumbuh grup-grup atau komunitas hobi, sosial, ekonomi, seni dan lainnya.
 
“Jadi penjelasan saya ke Merdeka.com begitulah kultur Bandung. Saat saya sebelum wali kota sata jadi dosen dan aktif di komunitas, di organisasi BCCF,” katanya, kepada jajaran redaksi KLN dan Merdeka.com yang menghadiri acara.
 
Setelah menjadi Ketua BCCF, sambung dia, dirinya mendirikan Indonesia Berkebun. Komunitas ini berbasis media sosial Twitter. “Sudah dari dulu saya main Twitter. Jadi sudah biasa tangan saya begitu, lagi istirahat twitt. Tidak benar kalau nge-twitt itu tandanya orang tidak kerja.”

Kredit

Bagikan