Anak muda peringati tiga tahun Kamisan Bandung

user
Farah Fuadona 21 Juli 2016, 19:02 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Hujan deras yang mengguyur Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Bandung, tak menghalangi aksi Kamisan Bandung yang genap ke-3 tahun. Kali ini Kamisan Bandung yang ke-149 mengusung tema “Mari Boeng Reboet Kembali”.  

Di bawah payung hitam, para pegiat Kamisan mengingatkan pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu yang dilakukan aparat negara. Mereka mengajak melawan lupa. Juga menagih janji negara untuk menuntaskan kasus-kasus yang mengendap dalam lembaran sejarah.

Dalam aksinya, para pegiat berorasi, membacakan puisi, bermain musik akustik. Yang istimewa di Kaimisan kali ini hadir Maria Catarina Sumarsih, ibunda korban penembakan Semanggi 1998, Benardinus Realino Norma Irawan atau Wawan.

Mengenakan kaos hitam bergambar foto Wawan, Sumarsih yang juga pelopor Kamisan Jakarta, turut berdiri dengan para pegiat kamisan Bandung yang kebanyakan anak muda dan mahasiswa.

Aksi peringatan tiap hari Kamis itu dibuka pukul 14.34 WIB di depan gerbang utama Gedung Sate, Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Di atas jalan aspal dihamparkan berbagai spanduk yang menyuarakan pembantaian simpatisan PKI pada 1965, pembunuhan wartawan Udin, kasus penculikan, penembakan mahasiswa Universitas Trisakti, kasus Semanggi I dan II, pembunuhan Munir, dan sederet pelanggaran HAM lainnya mulai dilupakan negara.

Lewat aksi itu mereka menolak lupa. Upaya mengingatkan terus disuarakan. Misalnya seniman Gusjur Mahesa menyuarakannya lewat pembacaan puisi berjudul “Betapa Bodohnya Kita”. Puisi ini mengecam perilaku-perilaku intoleransi atas nama agama yang mewarnai sejarah perjalanan bangsa hingga kini.

Aksi Gusjur disambung band Mapah Layung yang digawangi pemain gitar akustik Aras Kalimisada dan Elga. Keduanya menyanyikan lagu kritik sosial dari Kantata dan Swami berjudul “AnakJaman” dan “Cinta”.

Para seniman dari Kelompok Anak Rakyat (Lokra) kemudian menyajikan tarian topeng sambil mengusung bendera merah putih. Di sela aksi mereka, penyair Matdon yang membawakan puisi Sakarotul Cinta, puisi yang mengkritik keras orang-orang munafik.

Sementara Mahasiswa Unjani, Rizal Fahlevi membawakan puisi karya penyair Wiji Thukul, Sajak Suara. “Sesungguhnya suara itu tak bisa diredam,” teriak Rizal.

Hujan yang sempat berhenti kembali deras. Para pegiat Kamisan tetap bertahan memekikan, “Hidup korban! Jangan diam. Lawan.” Aksi ini menarik perhatian para pengguna jalan yang melaju di Jalan Diponegoro.

Wanggi Hoediyanto Boediardjo, penggagas Kamisan Bandung, menyatakan hingga kini aparat negara masih melakukan pelanggaran HAM. Sementara kasus-kasus HAM masa lalu makin diabaikan.

Namun ia mengekaskan, Kamisan akan terus bertahan. Kamisan menjadi salah satu cara untuk mencapai keadilan. “Kamisan akan terus mengingatkan negara untuk berbuat adil dan menegakan supremasi hukum di negeri ini,” tandas Wanggi yang juga seniman pantomim.

Menurut Maria, setelah anaknya menjadi korban, ia tidak berdiam diri. Ia berusaha mengusut pelaku pembunuhan Wawan, meski akhirnya semua pintu keadilan seolah tertutup, hingga kini. “Waktu itu Wawan bersama gerakan mahasiswa mengawal pelaksanaan agenda reformasi. Ternyata reformasi 1998 terseok-seok, tidak mulus, karena banyak yang lebih memilik melakukan kejahatan,” katanya.

Dalam aksi Kamisan Bandung ia mengajak rakyat agar tidak patah semangat dalam memperjuangkan keadilan. “Kita harus merawat semangat agar perjuangan tak padam dengan aksi Kamisan,” katanya.

Aksi Kamisan adalah aksi damai suara rakyat. Aksi ini awalnya hanya dilakukan segelintir orang tua, sanak, saudara yang menjadi korban pelanggaran HAM.

Kamisan bermula di depan Istana, Jakarta. Kemudian diikuti kota-kota lainnya seperti Bandung, Pekanbaru, Ternate, Medan. Ia yakin Kamisan akan terus bergerak di kota-kota di Indonesia, “Kamisan adalah niat baik kita untuk menyuarakan rakyat tertindas,” kata ibu berkacamata ini.

Menurutnya, tanpa upaya mengingatkan dari rakyat, penguasa akan terus melupakan pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu.

Kejaksaan Agung menjadi salah satu institusi yang diam saja. Padahal Komnas HAM sudah menemukan adanya pelanggaran-pelanggaran HAM yang perlu diproses hukum.

“Tapi kami akan terus menuntut diselesaikannya pelanggaran-pelanggaran HAM,” tandasnya.

Kredit

Bagikan