Perhimpunan Dokter Spesialis Jiwa Indonesia: LGB bukan penyakit

user
Muhammad Hasits 19 Maret 2016, 20:16 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Temu ilmiah dengan tema “Quo Vadis LGB-T?” di Kampus FK Unpad, Bandung, membahas isu Lesbian, Gay dan Biseksual dan transgender (LGB-T) dari berbagai sudut pandang.

LGB secara terminologi termasuk homoseksual, yaitu yaitu perempuan atau laki-laki  yang tertarik secara perasaan dan atau secara erotik terhadap yang berjenis kelamin sama.

Sedangkan transgender merupakan gangguan identitas gender di mana subyek “terperangkap” di tubuh yang salah. Dari sudut psikiatri, LGB tanpa huruf T tidak termasuk penyakit atau gangguan kejiwaan.

Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI),  Danardi Sosrosumihardjo, mengatakan untuk mengukur seseorang disebut gangguan jiwa atau tidak PDSKJI berpegangan pada buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III) terbitan Departemen Kesehatan RI.   

PPDGJ III merupakan terjemahan dari International Classification of Diseases edisi 10 (ICD-10) yang diterbitkan Badan Kesehatan Dunia WHO. Di buku tersebut masalah orientasi seksual diberi kode F66. Dikatakan bahwa gejala kejiwaan dan perilaku yang berhubungan dengan perkembangan dan orientasi seksual bukan dipandang sebagai gangguan jiwa.

PPDGJ III juga menyebutkan, orang baru dinyatakan sakit atau gangguan apabila orientasi seksualnya memunculkan gangguan jiwa atau perilaku. “Jadi kalau ditanyakan LGB itu sebagai gangguan? itu tidak,” kata Danardi, dalam juma pers temu ilmiah di Kampus FK Unpad Bandung, Sabtu (19/3).

Menurutnya, yang masuk dalam gangguan jiwa adalah apabila orientasi seksual itu menimbulkan ego distonik, yaitu seseorang yang masih meragukan dirinya homoseksual. Dalam kondisi ini, seseorang tersebut berada di antara kutub homoseksual atau heteroseksual. Dia tersiksa dalam keraguannya itu.

“Jadi yang disebut gangguan apabila seseorang mengalami gangguan ketika seseorang sedang berada di ego distonik, ketika masih berada dalam keraguan,” katanya.

Selain merujuk pada PPDGJ III, dokter kejiwaan Indonesia juga memiliki pegangan hukum lainnya yaitu Undang-undang No 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa. Dalam undang-undang ini ada kelompok orang dengan gangguan jiwa dan kelompok orang dengan masalah kejiwaan.

Namun di lapangan, kata dia, kelompok orang dengan gangguan jiwa dengan kelompok orang dengan masalah kejiwaan sering dicampuradukkan. Menurutnya, masalah kejiwaan tidak sama dengan gangguan jiwa.

Kelompok orang dengan masalah kejiwaan masih komunitas normal. Hanya saja dia mempunyai risiko tinggi untuk jatuh ke dalam kondisi gangguan jiwa. Orang yang masuk dalam kelompok dengan masalah kejiwaan misalnya orang yang hidup di daerah bencana, dalam banyak tekanan sosial, peperangan, dipenjara, termasuk LGB atau homoseksual dan transgender.

“Salah satu yang kita masukan ke dalam masalah kejiwaan itu orang-orang yang mempunyai orientasi seksual seperti homoseksual. Gangguan masalah kejiwaannya bukan karena orientasi seksualnya tapi karena dia didiskriminasi, dikucilkan, dibully, dihujat yang sering kali muncul gangguan psikis,” terangnya.

KPA Jabar gandeng sekolah terkait pemahaman LGBT

Perkembangan HIV-AIDS di Jawa Barat semakin meningkat. Salah satu penyebabnya adalah prilaku seks tidak sehat dan aman, termasuk sek sesama jenis. Di sisi lain, kelompok lesbian, gay, beseksual dan transgender (LGBT) menjadi pihak yang rentan dengan HIV/AIDS.

Asisten Kesejahteraan Rakyat Pemprov Jabar yang juga Wakil Ketua Harian Komisi Penanggulangan Aids Jabar, Ahmad Hadadi, mengatakan lembaga pendidikan termasuk pesantren harus memiliki pemahaman baik tentang HIV-Aids maupun isu LGBT.  

Pihaknya sudah menggandeng lembaga pendidikan tersebut. “Kami sedang berupaya konsolidasi dan memfasilitasi bagaimana masyarakat paham LGBT, secara edukasi memberikan pemahaman, kami kerja sama dengan para pakarnya, sehingga setiap jenjang lapisan sosial memahami itu,” kata Ahmad Hadadi.

Ia mengungkapkan, pemahaman dilakukan dengan mengedukasi para guru. Peran guru diharapkan memberi edukasi kepada muridnya, sehingga pergaulan mereka terjaga.

Ia menyebutkan, dewasa ini HIV-AIDS tidak hanya menular pada pekerja seks komersial, tetapi sudah terdapat di anak usia SD hingga pesantren.

Kredit

Bagikan